Kita pernah disinggung oleh Kanjeng Nabi bahwa masing-masing diri kita adalah pemimpin. Kadangkala kita menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Artinya kepemimpinan kita tidak bersinggungan dengan orang lain. Seperti mengurusi sawah dan ladang, mengurusi kamar sendiri, men-tashorruf-kan kendaraan yang dimiliki dan lain sebagainya.  Kadang kala juga kita menjadi pemimpin yang justru seharian penuh mengurusi kepentingan orang lain sampai-sampai lupa dengan urusan pribadi. Yang ini tidak perlu saya berikan contoh.

Bagaimanapun kita memperankan kepemimpinan kita saat ini, kelak kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Kalau setiap orang mengajukan gugatan atas kepemimpinan orang lain, misalnya kepada kepala desa, betapa panjang dan lama proses itu akan berlangsung. Ada yang menggugat tentang kepengurusan KTP, iuran bulanan desa, jatah raskin, penggunaan dana LPMP, dan lain sebagainya. Itu baru tingkat desa, bagaimana dengan camat dan kabupaten? Apalagi dengan presiden?

Ada beberapa tipologi kepemimpinan didasarkan pada akar katanya. Yang pertama, imam/imamah. Sikap memimpin yang dibarengi dengan sikap mengayomi, welas asih, mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan yang dipimpin karena kasih sayang. Dalam sholat, seorang imam harus mempersiapkan diri menanggung kesalahan (dosa) yang terjadi dalam shalat jamaah itu. Begitu juga dengan al-um, yang berarti “ibu”, memiliki kasih sayang yang luar biasa dalam membimbing anak-anaknya dan mengorbankan kepentingan pribadi.

Lihatlah, kedua kata itu –imam dan um– berawal dari akar kata yang sama alif dan mim. Bagi anda yang pernah mempelajari filologi (tashrif) bahasa Arab, tentu akan merasakan kedekatan makna yang lebih erat lagi.

Yang kedua; rais/riasah. Kata tersebut bermula dari akar kata ro a sa. Sebuah akar kata yang sama untuk “kepala” (ro’sun). Kepala adalah tempat (hardware) bagi logika, pemikiran, analisis, benar dan salah, untung dan rugi. Kalau yang pertama memiliki akar pondasi di dalam hati (sense), maka yang kedua ini lebih menggunakan pertimbangan data. Hitam putih bisa jadi lebih dominan. Kalau salah dalam membaca, bisa jadi ia terjerumus dalam dunia hitam. Begitu pula sebaliknya.

Hari Minggu kemarin, 8 April 2012, saya membaca Kompas. Di rubrik Parodi terdapat tulisan menarik: Pemimpin. Samuel Mulia menyinggung kepekaan seorang pemimpin -ia mempersonifikasikan dirinya sendiri. Ia mengagumi keberhasilan bawahannya yang telah berhasil menghelat hajatan besar. Namun dalam evaluasinya ia tertegun ketika mendengar bawahannya protes. Salah satu stafnya bilang begini: waktu saya mendengar mas ngomel-ngomel, dalam hati saya ngomong, “Tuhan kenapa saya dapat bos kayak gini lagi.” Si staff memiliki alasan sederhana: saat geladi resik sang boss tidak hadir, menjelang acara dimulai ia pun tidak bersama mereka.

Mereka bukanlah staff-staff yang cengeng. Sama sekali tidak cengeng. Kalau mereka cengeng, bagaimana bisa acara itu terlaksana dengan baik. Kalau mereka cengeng, tentu dekor yang setinggi kelapa itu tidak akan terpasang dengan baik.

Sebenarnya yang mereka dibutuhkan adalah perhatian, kepekaan, dan kebersamaan. Toh, kalau seorang pemimpin datang ia pun tidak akan bekerja sampai manjat-manjat memasang dekor. Tapi kedatangan seorang atasan akan memberi spirit yang lebih, rasa kebersamaan.

Dari gambaran di atas, kalau suatu saat ditakdirkan menjadi seorang pemimpin, kira-kira akan menjadi pemimpin seperti apa. Sudah punya gambaran kan?

April 2012