Usai menghabiskan malam bersama kekasihnya kawan saya mampir ke rumah kontrakan. Wajahnya sedikit lusuh, kehabisan tenaga seperti usai bertempur, dan nafasnya kembang kempis menahas galau di hatinya. Setelah meneguk segelas air yang ia ambil sendiri dari dispenser, mulailah ia mengeluh.
“Kok pacar saya seperti gak percaya kalau saya mencintainya ya?”
Hmm, saya membatin kalau-kalau kawan saya ini baru rehat dari pertempuran. Biarlah dia bercerita sendiri tanpa saya pancing-pancing, makanya saya jawab begini saja: Kalau begitu tinggal bilang kalau kamu mencintainya.
“Perhatian saya selama ini apa masih kurang cukup untuk menunjukkan kalau saya mencintainya?”
O, rupanya ini masalah ungkapan. Bukan ungkapan bahasa tubuh/gestur sebagaimana sering diteliti om Yasraf A. Piliang, tapi ungkapan lisan yang mencerminkan isi hati si pengucapnya.
Hati (Hampir) Berbanding Lurus dengan Bibir
Hati/kalbu seperti memiliki dimensi berfikir sendiri. Cobalah rasai sendiri perubahan berfikir hati/kalbu dari satu detik ke detik selanjutnya, dari satu menit ke menit berikutnya. Cepat sekali berubah. Berbeda dengan bibir yang merefleksikan segelintir kecil dari hasil berfikir hati/kalbu. Itu pun setelah melalui penyaringan dan penyerapan otak. Sehingga apa yang keluar dari bibir memang mewakili apa yang ada di hati. Dan perempuan senang bermain-main di sini.
Padahal, bibir tidak pernah mampu membahasakan bahasa hati/kalbu. Makanya sebagian sisanya dibahasakan oleh mata, tangan, kening, bahkan lenguhan nafas. Kalau perempuan, atau siapapun, senang dan mudah percaya dengan bahasa bibir berarti ia senang untuk dibohongi. Lah kok dibohongi? Iya, karena bahasanya masih menyembunyikan sisa lainnya dan artinya ia berbohong.
BACA JUGA - Ajari Anak untuk tidak Mengejek Orang Lain
Oke lah kita perhalus bahasanya. Kalau bohong mengacu pada makna tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya, maka ungkapan yang tepat adalah tidak sepenuhnya jujur. Misalnya teman saya mengatakan kalau dia mencintai teman perempuannya, tapi pada kenyataannya dia tidak mengungkapkan perasaan lainnya dan tetap disembunyikan di dalam hati. Mengapa tidak diungkapkan? Proses kuantum timbang menimbang antara hati dan fikiran memberi kesimpulan belum saatnya disampaikan.
Sehingga kita harus mawas diri terhadap ucapan orang lain. Ucapan yang tulus itu ya ucapan yang paling mampu meminimalisir kebohongan. Kita juga harus mawas diri terhadap ucapan diri sendiri. Jangan-jangan yang terucap itu sebenarnya untuk menutupi bahasa hati/kalbu.
Saya jadi teringat bahasa cinta Iwan Fals: kalau kita saling percaya // tak perlu nada tak perlu irama // karena cinta bukan hanya nada. Cinta lebih dari sekedar kata-kata.
BACA JUGA - Kas 1: Subuh
Saya teringat masa SMP dulu, ketika di PAI membahas tentang niat shalat. Guru saya mengajarkan supaya lafadz niat shalat diucapkan oleh lisan. Tujuannya membimbing hati untuk menghadap ilahi. Nah, saya kira tidak hanya dalam hal niat shalat saja kita perlu berucap-ucap seperti ini. Masalah cinta pun begitu. Bukan untuk menggombal tapi untuk mengingatkan hati—yang banyak sekali urusannya dan mudah sekali berganti topik—tentang perasaan cintanya.
Di ujung curhat teman saya itu saya berucap begini, ya sudah katakan saja kalau kamu mencintainya. Pertama supaya pacarmu tidak ngomel lagi. Kedua supaya semakin yakin hatimu kalau kamu mencintainya.
4