Saya belum sepenuhnya memahami apa yang diinginkan Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dari full day school (FDS). Karena ia sendiri, bahkan siapapun yang berwenang, sama sekali tidak memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait full day school.

Penjelasan kepada dinas terkait barangkali memang sudah dilakukan. Buktinya, meskipun menurut pak menteri full day school ini masih pada batas himbauan tetapi sudah lebih dari 50% sekolah menerapkannya. Akan tetapi, keberadaan stakeholder (para orangtua dan masyarakat umumnya) tak mengerti apa full day school itu. Yang mereka mengerti adalah anak-anak mereka harus sekolah untuk mengangkat derajat kemanusiaan mereka.

Setelah sebulan kegiatan pembelajaran tahun ini berlangsung saya jadi bertanya-tanya apakah Pak Menteri sudah melakukan langkah-langkah yang benar sebelum keputusannya ditandatangani? Peraturan Menteri nomo 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah itu ditandangani beliau pada 12 Juni 2017. Semoga selama tahun pelajaran yang lalu itu benar-benar dilakukan kajian komprehensif. Jangan sampai terulang kembali kebijakan menteri pendidikan tentang implementasi kurikulum 2013 yang cucuk cabut itu.

Saya mengajar di sekolah swasta yang sejak pertama berdiri pada tahun 2007 telah menjalankan konsep full day school. Ketahanan fisik, psikis, dan mental dari guru dan siswa sudah dipersiapkan. Sejak dalam perekrutan guru dan siswa selalu ditekankan kesiapannya untuk mengikuti sistem full day school. Tentu saja mereka menjawab siap.

Tetapi, sekolah-sekolah negeri dan swasta, sekolah di penjuru nusantara ini, secara seragam dituntut untuk menjalankan full day school? Kok, rasa-rasanya pak menteri perlu menjalani tritmen khusus pijat kepala supaya dapat berfikir lebih cespleng.

Saya yang jauh lebih muda dari pak menteri, pak Muhadjir Effendy, coba menerka-nerka terkait full day school ini:

Kesatu,  ketahanan siswa—dalam Kurikulum terbaru disebut peserta didik—untuk belajar selama delapan jam di sekolah. Barangkali, kalau kita mengukur peserta didik tingkat menengah kita tidak menghadapi banyak hambatan. Tetapi untuk peserta didik tingkat dasar, menurut saya, pak Menteri sungguh kehilangan kebijaksanannya.

Dalam Permendikbudnya, pengecualian full day school diberikan untuk taman kanak-kanak atau raudlatul athfal. Sedangkan sekolah dasar hingga menengah atas diberlakukan sistem full day school.

Maka, para orangtua harus siap-siap mengeluarkan budget tambahan supaya anaknya tetap dapat sekolah. Yaitu budget untuk uang saku—jajan dan makan siang—dan budget untuk suplemen supaya anak tumbuh sehat dan kuat. Kalau tidak, puskesmas siap memberi back up. Atau setidaknya, oleh UKS.

Kedua, mentalitas guru—yang dalam Kurikulum terbaru disebut tenaga pendidik—untuk bekerja seperti pegawai sipil non-guru.

Sebenarnya, saya agak curiga kalau Pak Menteri semacam ingin ngerjain guru yang beban jam kerjanya lebih sedikit dibanding pegawai sipil di kelurahan, kecamatan, atau perkantoran lainnya. Beban jam kerja berbeda tapi beban anggarannya kok sama. Ini asumsi loh ya. Menduga-duga loh ya. Saya tidak tahu pasti karena pak menteri tidak pernah berterus terang.

Tetapi sinyal-sinyal itu bisa kita lihat dari wawancara atau berita-berita di media cetak dan elektronik. Pak Menteri ingin para guru ini mengerjakan tugas perencanaan dan melaksanakan pembelajaran, melakukan penilaian, tugas tambahan (remidial atau pengayaan) dan lainnya. Nah, itu kan jelas tersurat di Permendikbud itu, di pasal 3.

Aneh loh kalau guru dibebani untuk menyusun perencanaan, penilaian dan evaluasi, mengerjakan tugas di luar pengajaran, tetapi bagaimana cara mengerjakannya ya kalau masih nyanding anak-anak di kelas. Alangkah lebih baiknya kalau peserta didik belajar 6 jam di sekolah dan guru 8 jam di sekolah?

Ketiga, hormatilah kultur pedesaan yang keseharian mereka tidak hanya di sekolah dan bimbingan belajar. Mereka juga ngarit dan ngangon sapi atau kambing kesayangan mereka. Tak hanya kambing yang di-angon, bebek yang jumlahnya ratusan pun di-angon di hamparan sawah. Janganlah kegiatan itu dianggap tak berguna. Justru mental, kepercayaan diri dan tanggungjawab lebih tertempa.

Belum lagi mereka akan dengan sukaria berlari-lari ke masjid untuk belajar membaca Alquran. Taman pendidikan Alquran yang mensuplai qori dan qoriah terbaik negeri ini. Setidaknya, pendidikan agama yang diajarkan di TPA-TPA itu lebih merasuk dibanding sekolah yang hanya satu kali pertemua dalam satu pekan.

Hhmm, atau jangan-jangan pak Menteri iri dengan sistem pendidikan ala TPA dan pesantren ini. Ups, saya kembali ber-su’u dzon nih. Pasalnya, dalam Permendikbud itu sekolah diharusnya melakukan pengajaran-pengajaran keagamaan. Kalau tak mampu menyelenggarakan sendiri, sekolah dapat melakukan kerja sama dengan instansi lain.

Duh, aku gak nyandak tentang ini. Sekolah formal jelas sekali memiliki sistem (metode pembelajaran dan administrasi) yang berbeda dengan TPA atau pesantren. Orang-orang di sekolah formal adalah orang-orang yang mendewakan angka-angka dalam bentuk rapor dan ijazah, sedangkan TPA dan pesantren adalah ladang penempaan jati diri yang mengganggap dunia adalah sampah. Kok mau disatukan?

Pun, kalau mau disatukan—ada yang mau diajak kerjasama—apakah sekolah mau meng-cover biaya operasionalnya? Saya sangsi dana BOS dapat dialihkan ke area bias seperti ini.

Keempat, pendidikan karakter bukan melulu soal sekolah. Tidak akan pernah ada sekolah unggul dan ideal selama pendidikan hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan. Pak Menteri perlu ngobrol dengan jajaran kementrian yang lain. Diskusilah dengan kementerian-kementerian yang menangani tentang perekonomian, sosial, komunikasi dan informasi, kesehatan, dan lain sebagainya. Tanyai dan mintai mereka pendapat apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu pendidikan.

Percuma kalau sekolah kahabisan “proteinnya” karena mengerjakan PR yang sangat besar, sementara informasi dari televisi, koran, internet menghancurkannya dalam sekali klik.

Terkahir, sayangilah keluarga para pendidik itu. Pak Menteri tentu memiliki data kesenjangan antara guru mendekati usia pensiun dan guru umur produktif. Guru yang belum sampai umur paruh baya itu tentu memiliki cinta dan kasih sayang yang harus dibagi antara anak kandungnya dan anak didiknya. Full day school telah memaksa mereka mencari baby sitter untuk ngemong anak-anak mereka yang ditinggalkan terlalu lama di rumah.

Pak menteri menginginkan perbaikan pendidikan karakter tetapi dengan tidak sadar menghancurkan karakter generasi berikutnya. Atau dalam master plan pengembangan pendidikan negeri ini, dicantumkan rencana yang mewajibkan setiap sekolah memiliki ruang khusus untuk ruang menyusui atau ruang semacamnya supaya guru-guru itu tak cemas berlama-lama di sekolah?

Sampai sekarang, saya belum dapat memahami latar pemikiran full day school dari pak Menteri. Meskipun saya mengajar di sekolah dengan sistem full day school tetapi kultur, konteks, role, dan kebutuhan kami berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. Barangkali, akan ada yang segera memberikan pengertian. Terimakasih.