By |Published On: January 21st, 2017|0 Comments on Langkah Pertama adalah Langkah Emas|Views: 507|

Seburuk apapun hasil dari pijakan pertama, ia tetaplah yang terbaik, karena pijakan-pijakan selanjutnya—anggaplah anak tangga—tidak akan pernah terwujud tanpa ada pijakan yang pertama tadi. Belajar dari hasil buruk sebelumnya—dengan tetap mempertahankan yang baik—maka pada langkah-langkah selanjutnya selalu akan memperoleh keberhasilan yang gemilang. Pada saat itulah, karena dibutakan oleh keberhasilan saat ini, sejarah masa lalu kerap menjadi angin lalu.

Terlupakan seperti itu memang kerap terjadi, dan seolah-olah menjadi hal yang lumrah. Kegemilangan yang ada di depan mata semakin menutupi masa lalu dengan bayang-bayangnya sendiri. Untuk mengingat kembali masa lalu yang “gemilang” dulu maka harus ada tragedi, yakni keterpurukan.

Manusia selalu membutuhkan tragedi untuk belajar, menghargai masa silam, dan memegang rambu-rambu ke mana arah akan dituju. Karena ini sebuah tragedi maka ia tidak perlu muncul setiap waktu. Ada waktu-waktu emasnya tersendiri ia akan muncul. Begitu juga sebuah keberhasilan. Ya, ibarat pelangi yang muncul pada saat-saat tertentu saja.

Sebagian dari kita pun kerap terjebak oleh masa lalu, sehingga untuk melangkah pada anak tangga berikutnya terasa menakutkan. Takut seolah-olah akan terperosok kembali menginjak lantai dasar. Sikap paranoid inipun kemudian bisa menyebabkan orang lain tidak mampu melangkah ke anak tangga berikutnya karena beban bayangan masa silam yang memberatkan.

Tapi juga sebagian dari kita terjerembab oleh angan-angan sehingga sejarah hanyalah sejarah. Padahal pelajaran di dalamnya sangatlah berharga. Melupakan sejarah sama halnya dengan jalan di tempat. Hanya kekiniannya saja yang berbeda. Padahal secara kasat mata semua justru selalu selalu memulai dari awal.

Menjadi bijaksana tidaklah mudah. Meletakkan cermin supaya bisa melihat yang di belakang, tapi tidak cukup besar sehingga pandangannya ke depan tidak terhalangi. Membanting stir ke kiri atau ke kanan untuk menghindari lubang, meskipun penumpang bergemuruh tapi ia telah menyelamatkan. Bukan asal banting kiri-kanan yang justru menjerumuskan.

Meletakkan angan-angan tetap di depan, seperti mercusuar yang memberitahu arah para nelayan ke mana arah pulang. Bukannya buru-buru berpulang mendekat ke arah mercusuar tapi lupa kalau jala tidak menangkap ikan.

Maka “saat sekarang”lah yang mesti menjadi perhatian. Karena datangnya waktu berarti datangnya kewajiban. Tidak mungkin kita melaksanakan shalat Dhuhur sedangkan bayang-bayang masih condong ke barat.

Jadi, dari pada berjalan di tempat apa salahnya kalau sesekali memandang ke belakang. Dari pada berjalan di tempat apa salahnya kalau memberi view yang lebar untuk memandang ke depan. Meskipun masa lalu sangat menyakitkan dan cita-cita sangat merindukan. Meskipun masa lalu sangat membahagiakan dan cita-cita belum tentu bisa dipastikan.

Komentar Anda