Untuk kebersihan lingkungan kami sokongan 25.000 perbulan. Tiga hari sekali petugas kebersihan mengangkut sampah rumah tangga di komplek rumah. Lalu berkumpul di sudut lapangan dekat kelurahan. Memindahkan dari gerobak ke mobil dinas kebersihan.
Bau? Tentu saja. Apalagi ini adalah sampah rumah tangga yang mengendap kurang lebih tiga hari. Ketika berangkat ke sekolah saya sering temui orang-orang membuang bungkusan sampah di TPS. Mungkin sampah yang mudah membusuk, mungkin pula yang sudah membusuk.
Muara sampah warga Bandarlampung terdapat di Bakung. Itupun hanya 50% saja yang masuk. Sisanya?! Tragisnya, ‘prosuksi’ sampah tahun lalu terhitung kisaran 800-850 ton perhari, meningkat 100 ton dibanding tahun sebelumnya.
Di sekolah limbah berupa sampah tak kalah hebatnya. Kebanyakan adalah sampah plastik dari kantin sekolah. Kebanyakan adalah botol air mineral.
Kita perlu mengedukasi diri kita tentang pengelolaan sampah. Mengatur sebuah sistem pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir. Di beberapa tempat fasilitas publik, di rumah sakit atau taman kota, kotak sampah diberi warna. Merah untuk anorganik dan hijau untuk organik. Beberapa tempat sampai membuat tiga kotak dengan warna berbeda untul memisahkan sampah kaca (pecah belah).
Efektif? Ya gak lah. Bagaimana mau efektif, sampah yang sudah dipisahkan itu ujung-ujungnya masuk ke bak truk yang sama? Ya campur lagi.
Sejak awal mula pengelolaan sampah di negeri kita memang belum terpadu. Beberapa usaha mikro melihat ini sebagai peluang bisnis, terlebih sampah plastik. Tapi ini kan usaha mikro! Entah berapa persen dampaknya terhadap pengurangan limbah. Dan, meskipun sejak tahun 2015 Bandarlampung telah memiliki Bank Sampah Bandarlampung, tentu ini belum sebanding. Masyarakat Bandarlampung masih harus meningkatkan perannya mengurangi limbah sampah.
Di acara Kick Andy pernah dihadirkan narasumber. Dia keren. Idenya adalah mengkampanyekan pembuatan biopori di depan rumah. Bukan sekedar biopori. Bukan sekedar serapan air. Tetapi menjadikan biopori itu sebagai mesin pembuat kompos. Caranya mudah. Lubang biopori yang sedalam 1-2 meter diisi dedaunan atau sampah organik yang bisa dipanen atau untuk menumbuhkan humus tanah yang sehat.
Saat pulang kampung lebaran kemarin, saya ketemu pak carik. Saya tanyakan rencana pemanfaatan dana desa yg miliaran itu. “Belum tahu pasti. Tapi kemungkinan di bidang kebersihan. Sudah waktunya desa punya TPA.”
Desa kami sudah padat. Tak lagi banyak tanah selapang sepuluh tahun lalu. Membakar sampah jadi tak seleluasa dulu karena tentu saja mengganggu tetangga. Sementara itu, jumlah sampah rumah tangga semakin besa.
Ia menceritakan permasalahan lain yang muncul. Di desa kami terdapat empat pondok pesantren, empat komplek sekolah, dan beberapa TPA. Bisa dibayangkan sampah yang bersumber dari tempat itu. Dan sebagian besar adalah sampah pelastik.
Di salah satu sekolah sudah dibuat sistem pembakaran sampah. Dirancang sedemikian rupa supaya sampah terbakar oleh “api abadi”. Sayang sekali saya tidak sempat melihat langsung sistem pembakarannya. Setidaknya, saya dapat sedikit gambaran sistem pembakaran sampahnya.
Satu solusi tercapai muncul masalah selanjutnya: polusi udara dari pembakaran sampah.
Tapi mau bagaimana lagi. Kita sudah terbiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit.
Program Beras Renceng Bulog Menambah Debit Sampah
Beras renceng diimpikan akan menyuplai kebutuhan beras sampai ke semua lapisan masyarakat. Begini berita yang dilangsir di situs resmi bulog:
“Solusi beras renceng ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan beras harus terjangkau diseluruh lapisan masyarakat dan tersedia di mana pun, bahkan di warung-warung kecil layaknya kopi dan mie instan.”
Perumpamaannya sungguh canggih sekali. Mengharapkan kesediaan pangan dengan cara begini. Sudah tidak menyelesaikan permasalahan pangan, justru menambah masalah baru. Sampah plastik.
Sementara di banyak negara semakin serius mengurangi limbah plastik, Bulog justru mengambil langkah mundur. Ini menggelikan. Bukan saja soal sampah plastiknya, solusi penyedian pangannya juga bikin geleng kepala.
Kalau benar beras renceng diproduksi dan didistribusikan hingga ke pelosok maka jangan heran jika nanti saat berlibur ke pantai, air terjun, atau tempat wisata lainnya, kita tak hanya melihat sampah bungkus popmie dan kopi sachet tapi juga beras bulog.
Leave A Comment