Kisaran sepuluh tahun dari tahun 2013, saya gemar menggkliping koran. Menikmati semacam kesendirian untuk bergelut dengan koran, gunting, dan lem. Paling senang ketika berkunjung ke rumah teman yang berlangganan koran. Saya cari edisi hari Minggu sekedar untuk membaca rubrik cerpen atau sastra. Syukur-syukur boleh diminta.

Saya tidak berlangganan koran. Saya hanya membeli koran di hari Minggu. Kompas, Republika, tempo atau Jawapos. Tetapi paling sering membeli Kompas. Lalu di tengah perjalanan hanya membeli Kompas karena penyesuaian anggaran sebagai mahasiswa.

Sayangnya, saya pernah kehilangan beberapa tumpukan koran. Hmmm, akibat beberapa kali pindah rumah kontrakan. Setelah pulang kampung, koran-koran itu pun ikut hijrah dari Malang ke Lampung. Di sini, banyak yang gak ngeh kalau korang-koran itu penting buat saya. Ada yang dipinjam–baca: diminta–ada yang ketlisut begitu saja. Syukurlah sebagian besar halaman rubrik Seni di koran Kompas itu terselamatkan.

Lebaran ini, saat pulkam, mata saya tertuju pada tumpukan map cokelat berisi kertas koran yang siap diklipping. Saya baca judul demi judul. Ada beberapa yang dimuat di Kumpulan Cerpen Kompas yang rutin diterbitkan Penerbit Kompas. Ada pula cerpen dari Jawapos yang tak seberapa. Ternyata, saya banyak mengkonsumsi koran Kompas. Begitu juga untuk buku-buku yang berderet di lemari yang didominasi Penerbit Kompas dan Bentang Pustaka.

Sepertinya tumpukan koran itu berbisik-bisik, “yo, ngliping lagi.” Terus hati saya jadi berdetak lebih kencang seperti genderang yang mau perang. Hati saya pun menjawab, “ngliping lagi ah, nglipping lagi ah.”

Ilustrasi Cerpen Kompas 2004

Kliping Koran, Pentingkah?
Saya gak pernah mikirin ‘penting nggak sih kliping koran?’ karena waktu itu tiba-tiba saja tumbuh keinginan dan kecintaan mengkliping. Menurutku koq keren dan asik ya.

Koran-koran yang sudah dioperasi, digunting sana-sini, lalu ditempel di kertas HVS dapat dipastikan sudah dikonsumsi isi kepala. Sudah dibaca. Momen-momen menggunting, ngelem, menjilid-lah yang membuat saya teringat isi lembaran-lembaran itu. Komitmen pribadi sih untuk mendisiplinkan diri begitu.

Suatu hari saya hadir di pameran ilusrasi cerpen Kompas 2004 di Jogjakarta lalu dihadiahi buku kumpulan ilustrasi tersebut. Hmm kebayang kan senengnya kayak mana. Sebagian ilustrasi itu mengingatkan saya pada isi cerpen di dalamnya. “Biji Mata untuk Seorang Lelak”-nya Timbul Nadeak, “Sepatu”-nya Eep Saefullah Fatah. “Meniti Sepi, Menanti yang Pergi”-nya Isbedy Setiawan. Dan masih banyak lagi.

Mengklipin koran bukanlah pekerjaan yang keren apalagi untuk dibangga-banggakan. Temanmu yang lama tak bertemu tiba-tiba tanya, “Apa kerjaan lo sekarang?” Terus kamu jawab, “Tukang kliping koran.” Silahkan bayangin sendiri kelanjutannya.

Kecuali kalau dedikasimu seperti Pramoeda Ananta Toer yang menghabiskan masa hidupnya, di bawah pengebirian yang dilakukan oleh Manikebu dan Orde Baru, dengan mengkilping koran untuk menyusun ensiklopedia. Sampai beliau wafat, proyek kliping ensiklopedia belum tuntas. Dan gara-gara menulis tentang ini saya jadi teringat, bagaimana kabar kliping Pram itu ya?

Dari kliping itu saya mengenal beberapa nama. Agus Noor, yang menulis naskah Sentilan Sentilun, ya dari koran. Lalu Gumira Aji atau Ayu Utami. Bre Renada. Ratna Indraswari. Dan lain sebagainya. Teryata karya mereka sudah berseliweran di toko buku. Hmm, saya tak banyak belanja buku waktu menjadi mahasiswa. Jangankan beli buku, beli koran seminggu sekali sering kesusahan.

Dan karena ini, saya pun bertanya-tanya, apakah mereka–para penulis cerpen yang pernah ditulis di koran Kompas–masih menulis? Atau energi mereka tiba-tiba habis setelah cerpennya dimuat di koran? Saya ingin berfilateli dengan mereka.

Barangkali pertanyaan itu pun muncul di benak orang yang mengambil klipping cerpen yang sudah saya jilid, “Apakah Farhan masih mengklipping koran seperti dulu? Atau energinya habis ditelan duka setelah klippingnya saya ambil?”