Di dekat tebing pojokan sawah milik bapak ada pohon kelapa yang cukup tinggi. Jauh sebelum saya merantau lambaian daun kelapa itu masih bisa digapai tanpa memanjat apapun. Sekalipun waktu itu saya masih bocil seumuran anak SMP. Kalau bertepatan pulang kampung dan saya menyempatkan diri ke sawah, pohon kelapa itu langsung membawa ingatan indah saya bersama bapak.
Barangkali karena saya dinilai cukup ngerti untuk diajak ngomong terkait kelanjutan sekolah, pagi itu, ketika saya masih bocil itu, bapak mengajak saya ke sawah. Cara mengajaknya sangat berbeda dari biasanya. Bukan menyuruh seperti sebelum-sebelumnya tapi benar-benar berupa ajakan. Dan saya tidak bisa menolak ajakan tersebut.
Maka pagi itu kami ke sawah. Mengerjakan lahan untuk ditanami. Sawah di desa kami dialiri dari irigasi alami yang jernih, banyak ikan wader, dan keong mas yang tahu betul sebentar lagi musim tanam. Burung-burung juga banyak beterbangan mengincar benih sebaran. Dan bapak tidak pernah menganggap mereka sebagai hama, kecuali keong dan tikus.
Saya diajari bagaimana cara membendung lubang tikus–sama menyebalkan bagi petani selain keong dan wereng–bukan dengan cara menutupnya dengan tanah atau batu rapat-rapat. Tetapi dibuatkan tanggul melingkar supaya air tidak masuk dan menyerap semua air sawah. Kadang kami meletakkan potongan racun tikus dan keesokan harinya didapati satu atau dua tikus mengapung. Hanya saja tidak semujur itu tiap kami memasang racun tikus. Lebih banyak tidak mujurnya.
Lalu waktu istirahat datang dan kami berteduh di bawah pohon kelapa, di pojokan sawah dekat tebing. Tidak jarang kami berbagi bekal dengan semut merah atau semut rangrang–yang bahkan lebih galak dari kami–seolah-olah kamilah yang merebut perbekalan mereka. Angin di bawah pohon kelapa itu sejuk sekali. Karena dekat tebing atau perengan dan sungai. Di sana lebih spoi-spoi. Bapak tidak punya gubuk sawah. Sementara orang lain membuat gubuk untuk istirahat, kami cukup nglekar di bawah pohon kelapa.
Saat itulah bapak menyampaikan sesuatu bahwa ia tidak sanggup membiayai sekolah.
Padahal saya ingin sekali melanjut ke Gontor. Sebentar lagi ada penerimaan santri baru di sana. Saya sudah menyampaikan keinginan saya untuk melanjut ke sana. Sebagaimana umumnya di keluarga besar kami, anak menimba ilmu di sumur yang sama dengan bapaknya.
Jauh sebelumnya sekali bapak mengajak saya ke Gontor ketika almarhum paman lulus dari KMI. Kunjungan langsung ke sana menambah sulutan semangat. Belum lagi, cerita nostalgia bapak selam di pondok pesantren, dan juga “jalan-jalan”-nya yang terakhir ke luar negeri sebagai perwakilan pondok pesantren.
Tapi semua harus pupus ketika bapak bilang tidak sanggup membiayai. Saya tidak bodoh amat untuk memahami mengapa masalah biaya menjadi alasan. “Tidak apa-apa, kan?” Tentu saja pertanyaan bapak saya jawab dengan tidak apa-apa yang kemudian saya balik bertanya baiknya melanjut sekolah di mana. Lalu dijawablah di MAN/MAPK.
Pastinya tidak mudah, saat itu, dengan akses dan biaya yang tidak mudah, bapak mencarikan alternatif pilihan sekolah yang sepadan.
Maka ketika saya pulang ke kampung halaman dan menyempatkan diri ke sawah dan mendapati pohon kelapa itu masih tegak berdiri rasanya seperti kembali meresapi ketegaran dan pijakan hidup yang kokoh. Bukan tentang pohon kelapa itu, bukan pula tentang saya, tapi tentang bapak yang sekarang semakin dalam saja kucium punggung tangannya.
Leave A Comment