Ada kalanya saya ingin membuang rasa khawatir dalam hati ini. Buang jauh, sejauh-jauhnya. Sehingga aktifitas sehari-hari menjadi lebih rileks, santuy, dan innocent. Seperti Cahya dan si Bungsu yang sehari-harinya nyantai nonton Bare Bears, Power Puff Girls, lalu Upin dan Ipin; atau melihat teman sebayanya bermain menerbangkan layang-layang, sepedaan—Cahya belum bisa naik sepeda; atau mencari bunga bom air. Pagi-pagi mereka akan stay tune nonton kartun di NetTV, serial Our Planets-nya Netflix, atau Simba.

Berkat pandemi jam sekolah hanya sampai jam 13.00 WIB, kadang sampai 14.30 WIB. Saya jadi bisa pulang lebih lebih awal, siang hari, untuk bercerita dan menggambar, atau sembari melantunkan thibbil qulub saya meninabobokkan si bujang kecil. Dengan begitu untuk sementara kekhawatiran terhadap penyebaran wabah ini hilang.

Di sini, di Lampung, pasien terkonfimasi covid-19 sedang menuju angka seribu. Pasti tidak lama lagi. Apalagi trend yang belakangan ini muncul: ngumpul di cafe, kondangan, kunker, dan … (kalau dideretkan daftarnya malah makin perih). Gak ada yang takut. Ra wedi-wedi oog.

Memangnya untuk apa merawat kekhawatiran itu dalam-dalam? Toh, banyak orang membuat statemen-statemen nylekit tentang musibah pandemi ini. Yang kemudian semua seolah-olah menjadi wajar. Sampai-sampai, ada yang bilang, “Kita ini tinggal menunggu waktu terinveksi. Nikmatilah sisanya.”

“Di masyarakat kecil, kesengsaraan itu dihadapi dengan keceriaan.”

Semua menjadi wajar tetapi kewajaran yang manipulatif. Sebab, rakyatnya belajar dari para pemimpinnya.

Aku ngikutin Bapak, ngikuti poro Yai. Mereka menasehati untuk waspada dan mawas diri, untuk menjaga kesehatan sebab dalam kesehatan orang bisa lebih banyak beribadah dari pada ketika sakit. Ibadah orang sakit paling-paling ya sabar. Lagi pula kalau sakit siapa yang kerepotan?! Tentu anak isteri. Jangankan korona, nggreges demam aja repotnya bukan kepalang.

Maka ikhtiyar untuk menjaga diri adalah dengan mengikuti nasehat ahlinya, para dokter: menjaga jarak, pakai masker, olahraga, seperti halnya menghindari hujan karena khawatir demam pilek. Tidak usahlah kemaki, sesumbar ini itu, sebab semua-semuanya hanyalah makhluk. Dan kita dituntut untuk menjaga tata krama terhadap sang Pencipta. Bukan malah kemaki ini itu.