Tanom bersimpuh. Air matanya tumpah tepat di pangkuan ibunya. Baru saja berucap ‘Bu’ sesegukannya makin menjadi. Ia tak mampu melanjutkan. Baginya itu pengalaman yang luar biasa karena memang ada beberapa orang yang tidak bisa menangis di depan orang lain. Selama ini, kalaupun ia harus menangis satu-satunya tempat yang aman adalah kamarnya.
“Terus, lihat kamu menangis sungkem begitu, bagaimana reaksi ibu?” Tanyaku.
Alih-alih menjawab, Tanom justru hendak melanjutkan ceritanya. Matanya menerawang jauh layaknya filosof yang sedang mikir.
“Bagaimana pun inilah pertama kalinya aku nangis di depan ibu.” Tanom menarik nafas.
Lebaran, bagi banyak orang, memiliki kisah uniknya masing-masing. Kisah yang sentimentil. Tanom tidak bercerita lebih lanjut kenapa lebaran-lebaran yang lalu ia tidak menangis seperti sekarang. Saya juga enggan bertanya. Biarlah.
Di lain waktu Tanom berkisah yang lain lagi. Momen lebaran juga. Sama-sama momen yang bikin matanya berlinang. Sore itu, menjelang pamit bepergian, hanya ada Tanom dan ibu di kamar, ia mengeluarkan sebundel uang. Baik Tanom maupun ibunya sama-sama menganggap itu bukan uang seberapa. Ibunya menolak menerima. Tapi Tanom merasakan kebodohannya ketika menjawab penolakan ibunya.
“Terimalah, Bu, gak seberapa tapi bisa buat tambah-tambahan kebutuhan ibu.”
Ibunya, menurut cerita Tanom, seperti berkaca-kaca. Entah tersinggung karena ucapan Tanom yang ‘bisa buat tambah-tambahan kebutuhan’ itu atau terharu. Atau karena hal lain. Hati siapa yang bisa diterka. Mata Tanom sendiri ikut berkaca-kaca karena menyesali basa-basi bodoh itu. Lubuk hatinya yang dalam mengoreksi ucapannya, apa yang diberikan tak sebanding sama sekali.
Leave A Comment