Sebelum Totto-Chan, Cahya membaca Nasruddin Hodja. Buku itu saya temukan di rak penjalin–penjaga buku yang reot dan berdebu–menumpuk bersama buku-buku yang lain. Jamur dan bercak yang melekat di lembaran-lembara itu mengisyaratkan umurnya. Sepertinya isteri saya membelikan ketika masih kuliah dulu.

Bersandar di dinding di atas dipan saya baca beberapa kisahnya. Sesekali tersenyum. Kemudian saya menyadari kalau Cahya dan Owik sudah ikut meringkuk di samping saya. Barangkali heran kenapa saya senyum-senyum sambil membaca buku. Lantas muncullah ide untuk membacakan beberapa kisah. Mereka menyimak.

Rupanya, buku tersebut menarik perhatian Cahya. Dia baca sendiri buku itu sambil mengomentari beberapa kisah yang menurutnya tidak masuk akal. Atau sesekali tertawa karena menemukan kejenakaan di sana. 

“Ayah, uang THR-ku mau kubeliin novel.” 

“Beneran?”

“Iya.” 

Beberapa kali Cahya memang ingin membeli novel tapi saya belum sempat mengantarnya ke toko buku. Dia kulik lagi keinginnya untuk beli novel setelah baca kisah-kisah tentang Nasruddin Hodja. 

“Ya, kalau sudah kembali ke Lampung nanti ayah antar ke toko buku. Sekarang baca dulu buku ini.” 

Saya berikan buku bersampul putih bertuliskan Totto-Chan.

Buku itu disambut. Mulanya mengeluhkan bukunya yang tebal. Namun saya rayu untuk baca satu dua lembar dulu.

Sahdan, sejak zuhur ketika saya beri buku Totto-Chan sampai kumandang isya’, Cahya masih menikmati buku itu. Sesekali tertawa. Sesekali buku itu diletakkan di kasur untuk rehat. Lalu memulai lagi. 

Saya senang. Semangat membacanya jauh di atas saya. Bacalah, Nak, sesukamu. Hingga kelak kamu baca tetralogi pulau Buru.