Saya yang salat tidak khusyu’ ini semakin terganggu oleh siswa yang ada di depan saya. Pasalnya, ia begitu nyantai berdiri sambil menunggu imam menyelesaikan bacaan Fatihah. Barangkali kalau diperbolehkan berkacak-pinggang dalam salat tentu ia lakukan. Awalnya, kupikir, siswa saya ini belum takbiratul ikhram tetapi melihat tangannya yang sedekap rasanya tidak mungkin dan nyatanya ketika imam salat riku’ ia pun langsung turut ruku’.

Dua rekaat salat Jumat kali ini benar-benar berat. Terutama karena keinginan untuk segera menyelesaikan salat kemudian menyelesaikan urusan tata cara salat yang tidak lumrah tadi. Saya benar-benar kerasukan semangat guru Kiplik dalam berdakwah. Saya bersemangat sekali. Pertama karena saya gurunya jadi punya otoritas untuk mendidik/menegur; dan kedua karena kalau tidak ditegur bisa jadi perilakunya dianggap benar. Dan dalam dua rekaat yang panjang itu saya merancang bagaimana cara menegur sekaligus memarahi siswa saya ini.

Ketika salat selesai ditutup dengan salam saya langsung pindah ke bagian belakang mencari ruang yang cukup untuk melampiaskan. Saya ajak siswa tadi ke sana. Saya sudah pasang muka kecut karena melihat tata cara salatnya tadi. Sudah SMA tapi salat kok masih begitu! Siap sekali untuk muntab. Hingga ia pun datang dan duduk tepat di depan saya.

“Kaki kamu sakit?”

Saya mengawali dengan pertanyaan kecil sebelum melampiaskan amarah yang besar. Lalu siap-siap menceramahinya bahkan mungkin cemooh. Tapi ajaibnya pertanyaan tadi benar-benar menjadi titik balik kemarahan saya. Apalagi mendengar jawabannya yang polos, benar-benar polos, kalau ia tidak tahu sama sekali tentang aturan rukun salat.

Saya ngelus dada. Bagaimana bisa terjadi gap yang lebar antara pohon dan buahnya? Bukankah materi-materi dasar itu sudah dipelajari berkali-kali? Bukankah dipraktikkan berulang kali? Dan bisa disaksikan di sekitarnya contoh-contoh gerakan salat tadi?

Berkecamuk perasaan dan pertanyaan.

Dengan gemas saya praktikkan beberapa gerakan salat; saya juga tunjukkan beberapa gerakan salat, yang kebetulan ada bebera guru yang sedang salat ba’diyyah. Saya lihat ia memperhatikan dengan seksama. Lantas ada tanya jawab. Lalu yang terakhir dia minta maaf.

“Dijaga ya. Sayang sekali kamu sudah salat tapi gak memenuhi syarat sah salat.”

Saya berpesan demikian di bagian akhir. Lantas ia undur diri. Melihat dia pamit sepertinya saya sedang melihat cerminan diri saya sendiri.