Ketika duduk di bangku sekolah dasar, cerita tentang kebun binatang adalah oase pengetahuan tentang satwa yang tak mungkin saya temui di kampung halaman. Saya tak pernah peduli tentang apakah bacaan di pelajaran bahasa Indonesia waktu itu adalah fiktif atau fakta. Namun yang jelas terbayang di benak saya adalah mengunjungi kebun binatang merupakan rekreasi yang menyenangkan.
Bagi saya kebun binatang adalah surga bagi para penghuninya. Semacam rumah rehabilitasi bagi orang ketergantungan obat, bukan penjaga bagi para pesakitan. Dan saya masih meyakini itu sampai akhirnya saya mengunjungi wahana kebun binatang Bumi Kedaton, Bandarlampung.
Belajar menjadi seorang ayah maka pada suatu Minggu saya mengajak istri dan anak saya ke kebun binatang. Saya ingin mengenalkan aneka fauna kepada anak saya, Davina Cahya Syakira. Mengingat hanya ada dua opsi, Bumi Kedaton atau Lembah Hijau, saya putuskan untuk mengunjungi Bumi Kedaton. Pengalaman kunjungan saya sebelumnya, Bumi Kedaton memiliki koleksi aneka binatang yang lebih beragam.
Maka berangkatlah kami bertiga. Pagi-pagi beriringan dengan terbitnya mentari. Sempat hampir salah masuk ke wahana waterboom Bumi Kedaton kalau saja penjangan portal tidak mengingatkan kami.
Sampai di lokasi yang dituju kami mengeluarkan uang Rp. 20.000,- untuk tiket masuk. Tidak banyak pengunjung rupanya, pikir saya. Saya menduga-duga dari jumlah kendaraan yang diparkir.
Sesaat setelah masuk hmmm dugaan saya terjawab langsung. Pengunjung memang banyak tapi tidak sebanyak kunjungan saya ke Bumi Kedaton dua tahun lalu. Sangat menyusut. Tidak perlu menerka-nerka jawaban karena semua jawaban yang dicari ada di depan mata.
Kondisi kebun binatang mini ini sungguh menyedihkan. Saya kira hanya kebun binatang Surabaya yang bernasib suram. Ternyata di tanah yang saya tinggali pun tidak kalah suram.
Banyak kandang yang kurang terawat dengan baik. Kotor. Binatang yang dikurung pun tampak sangat tidak sehat. Saya lihat beberapa landak berada di satu kandang yang kecil dan kotor, sangkar burung merak yang justru merusak keindahan bulu-bulu ekornya.
Untuk masih ada koleksi binatang dari rumpun kera yang membuat kebon binatang mini terasa ramai. Sahut-sahutan suara mereka memekikkan telinga. Mereka bernyanyi menyambut para tamu yang datang datang menghampiri mereka. Atau barangkali sedang memekik mengemis makanan.
Tidak berhenti pada kengerian itu. Ada sekitar lima kuda yang diikat tanpa pelana. Sehingga tampak jelas garis tulang punggung dan iganya. Sesekali ia gibaskan ekornya ke kanan dan ke kiri untuk mengusir lalat yang mengerubuti luka pada pahanya.
Konon, kebun binatang Bumi Kedaton adalah milik salah satu pejabat tinggi di Lampung. Meskipun ia milik pribadi, keberadaan kebun binatang menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakatnya. Bukan hanya untuk rekreasi, keberadaan kebun binatang juga menjadi wahana pembelajaran bagi banyak peserta didik.
Lagi-lagi, pemerintah daerah kecolongan dalam menyediakan area publik yang sehat dan bermutu. Alih-alih melakukan pembangunan infra struktur, keberadaan area publik yang dapat menyegarkan jiwa masyarakatnya justru terbengkalai. Tidak hanya soal kebun binatang, tentang taman kota saja tidak tergarap.
Mengakuisisi kebun binatang Bumi Kedaton oleh pemda, merehabilitasi dan menyehatkannya, adalah umpama “menunggu Godot”. Tetapi harapan untuk memiliki area publik yang sehat dan bermutu adalah impian yang harus terus dibisikan di telinga para pemangku kebijakan.