By |Published On: November 29th, 2016|0 Comments on Piknik untuk Menikmati Perjalanan Pulang|Views: 687|

Saya masih berkeyakinan bahwa perjalanan adalah “penyingkap”. Orang yang melakukan perjalanan adalah orang menjalani penyingkapan. Disana ia akan menemukan berbagai pengalaman. Suatu pengalaman spiritual dan emosional yang takkan ditemui kalau ia mendekur dalam rumah. Pertemuan-pertemuan tak terduga yang akan menjawab pertanyaan. Bahkan sampai menemukan pertanyaan-pertanyaan atas apa yang selama ini menjadi keyakinan.

Begitulah saya. Bagaiaman dengan kamu? Tentu saja kamu boleh percaya, boleh juga tidak.

Beberapa waktu lalu saya pergi mengantar istri ke Jawa Timur. Sekalian saya mengambil kesempatan untuk mencoba naik kereta Krakatau, Merak – Kertosono. Setelah tiket kereta tak lagi seharga 49 ribu rupiah, inilah pertama kali saya mencoba kembali naik kereta.

Di depan saya, duduk seorang perempuan. Membawa tas—yang belakangan saya tahu berisi buku. Dia ingin ke Jogja untuk mengisi semacam seminar motivasi. Motivator rupaya, batinku. Tapi dia bukan sembarang motivator. Di jogja, dia akan berdiri di depan deretan peserta seminar. Lalu menunjukkan tips bagaimana menulis puisi. Ya, dia seorang motivator penulis puisi.

Sayangnya saya tidak banyak merekam prestasi yang dia torehkan meskipun dia menyebutkan beberapa kali. Memenangi beberapa kali event perlombaan penulisan puisi. Lalu memajang di etalase blognya yang dirawatnya penuh suka cita. Di sela-sela perbincangan saya melihat tas miliknya tersingkap. Di dalamnya terdapat tumpukan buku. Dan ketika dia membenahi buku-buku itu saya menyadari sebanyak itulah karya-karyanya.

Saya tersadar betapa saya pernah sangat menginginkan menjadi seorang penulis. Bercerita tentang banyak hal, bertukar wawasan dengan oranglain, mengabadikan momen dalam cetakan tinta. Saya sadar semangat itu menjadi begitu redup di depan mata.

Perjalanan pulang adalah perjalanan menuju pada kerinduan. Yang pulang bukan hanya tubuhmu yang layu. Kenangan yang hilang, semangat yang lenyap, bisa menyertai kepulanganmu. Makanya ketika cita-cita yang dulu pernah tertanam itu menyeruak kembali kokrasanya getir amat ya.Dan waktu sudah terlanjur kubuang sia-sia.

BACA JUGA: Masjid Harus Lebih Bagus dari Rumah Kita

Pada mulanya saya gak ngehdengan para back packer. Apa untungnya ngelancong kesana kemari. Barangkali, semakin banyak kilometer yang terlampau semakin kaya pengalaman spiritualnya. Seperti Bodhi dan kawan-kawannya dalam film Point Break. Hingga ketika saya rutin naik kereta Malang-Blitar dan melihat perubahan sawah-sawah yang dilalui. Sekali jalan sawah-sawah itu masih tandus penuh jerami. Lalu ketika lewat lagi sudah selesai dibajak. Ketika lewat lagi sudah selesai ditanam padi atau barangkali baru dipupuk. Ketika lewat lagi sudah menguning dan tak lama lagi dipanen. Waktu benar-benar berjalan dengan cepat.

Seperti shutter speed yang merekam gerak objek foto, landscape tadi membuat saya termenung. Sudah berapa tahun para petani itu nyawah? Barangkali sejak kecil karena tidak semua orang bisa masuk Sekolah Rakyat. Lalu untuk apa mereka nyawah? Untuk menafkahi anak-istri kah atau mensekolahkan anak-anak mereka yang kemungkinan besar tidak mau nyawah?

Rasa haru tiba. Saya teringat Bapak di kampung. Dulu, untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, saya harus membayar daftar ulang sebesar 2juta. Bagi Bapak yang hanya petani, 2 juta adalah angka yang besar. Maka, sepetak sawah miliknya disewakan hanya sekedar supaya saya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Tiba-tiba, saya merindukan kampung. Saya pingin pulang.

Sejati perjalanan adalah pulang. Pulang ke haribaan ibu pertiwi. Pulang kepada pelukan rahmat Ilahi. Tapi tidak banyak dari kita yang siap untuk segera pulang. Seperti mahasiswa yang memilih tetap di kampus karena mudah mendapatkan uang kiriman. Padahal kampus itu hanya tempat singgah, hanya tempat mampir ngombe,kalau capeknya hilang ya mari segera pulang. Pulang kampung. Innälillähi wainnä ilaihi röji’ün.

Komentar Anda