By |Published On: December 13th, 2016|0 Comments on Haji Kecil [Bag. 1]|Views: 579|

Selayang pesan singkat masuk ke seluler saya. Pesan itu berbunyi berita tentang jadwal pemberangkatan haji kecil di akhir November. Barangkali, dari banyak berita bahagia, pesan singkat inilah yang paling menggetarkan hati.

Pesan singkat itu menyisakan rasa bahagia yang luar biasa. Langsung terbayang saat-saat pertemuan dengan Kekasih Allah, menyapa langsung di persemayannya. Juga, bersimpuh di Taman Surga, tempat yang dijanjikan Allah untuk para sahabatnya. Tetapi, ada apa gerangan sehingga saya bisa ke Tanah Suci?

Tiket ke Tanah Suci ini adalah apresiasi terbesar yang saya terima, bersama seorang teman lainnya. Sebenarnya, selain rasa haru dan bahagia, saya merasa malu menerimanya. Allah, apa amalku jika kurnia || apa dosaku jika coba, begitulah saya meniru munajat Mustofa Bisri.

Setiap tahunnya, Yayasan Lampung Cerdas menganugerahi dua tiket untuk guru/staf (tenaga pendidik dan kependidikan) untuk berangkat ke Tanah Suci. Dua tiket ini diberikan kepada mereka yang memenuhi kriteria. Di antaranya adalah kedisiplinan, kontribusi, dan kinerja.

Jadi apakah saya sudah memenuhi kriteria itu sehingga layak menerima apresiasi ini? Justru itu saya merasa malu. Belum banyak yang saya lakukan untuk sekolah. Kontribusi sebesar apa yang layak menjadi pertimbangan. Apalagi tentang kedisiplinan, saya jauh terperosok di bawah sana.

Itu adalah anugerah dari-Nya. Itu adalah panggilan-Nya. Penuhilah Panggilan-Nya.Begitu kata seorang teman. Saya jawab, “Insya Allah. Bismillah.”

* * *

Beberapa bulan sebelumnya, dalam hajatan makan bersama seluruh keluarga besar Yayasan, saya menjadi pembawa acara. Ketua Yayasan—Dr. Gunadi Rusydi, M.Kom—bercerita tentang beberapa peristiwa yang menginspirasi. Juga keinginannya menyaksikan sendiri shalat subuh yang fenomenal di Turki itu. Singkat cerita, di ujung pengantar sebagai pembawa acara, saya pun berkata begini: “Konon di tanah Arab ada bangunan di mana orang Islam berbondong-bondong untuk mengunjungi tempat itu. Saya pun demikian. Ingin membuktikan sendiri apakah benar demikian.”

Secara konteks, ucapan saya cenderung guyon. Tapi mungkinkah karena guyonan itu lalu malaikat marah dan memanjatkan doa kepada Allah supaya saya ditunjuki langsung tempat itu. Atau barangkali malaikat marah dan memanjatkan doa kepada Allah supaya saya dijauhkan dari rumah-Nya tetapi Allah berkata lain. Kun fayakun.

Ataukah ini pengabulan doa ayah ibu ketika lima belas tahun lalu mereka berangkat ke tanah suci. Saya mengejarnya di halaman masjid tapi tak tergapai tangannya. Saya menyusul ke tempat berkumpul para jamaah sesuai kloter mereka tapi tak juga kutemui. Dan terakhir dengan tergopoh-gopoh saya kejar ke Islamic Center. Mereka di sana. Saya mendekat dan kugapai tangan ibu lalu kupeluk mereka. Pelukan pertama setelah saya baligh.

BACA JUGA: Haji Kecil [Bag. 02]

Atau mungkin ini adalah jawaban dari doa yang waktu itu, atau yang dulu itu, atau yang saat itu, atau…, atau…, atau…. Tak pernah saya ketahui. Yang kuketahui Allah itu maha asyik, kun fayakun.

* * *

Malam itu gerimis cukup lama sejak sebelum Maghrib. Padahal Isya’ sebentar lagi berkumandang. Semoga sanak famili tetap hadir dalam acara tasyakur dan walimah safar ini. Acara ini adalah inisiatif ibu tercinta. Saya tak mungkin memiliki inisiatif normatif seperti ini.

Ternyata hujan memang bukan musuh bagi kami. Bukankah hujan adalah berkah? Hujan tak pernah menjadi penghalang. Justru ia yang akan mengamini doa-doa yang dirapal oleh lidah-lidah yang senantiasa mujahadah.

Setelah doa-doa selesai dirapal, kalimat-kalimat suci melayang ke pintu langit, ibu menyampaikan pesan kepada saya. “Mumpung di sana. Tak tahu lagi kapan akan dipanggil. Perbanyaklah ibadah. Merunduk dibawah keagungan ilahi.”

Masya Allah, nasehat itu membuat bulu guduk saya berdiri. Ibu memang tak pernah meminta banyak kepada anak-anaknya. Pesan yang sering disampaikan kepada anak-anaknya adalah jangan sampai meninggalkan salat. Di mana pun Allah menempatkanmu, itulah maqommu. Di sana kamu tunaikan salatmu.

Saya kembali teringat pertama kali saya memeluk ibu. Ketika ia memakai pakaian serba putih untuk berangkat ke tanah suci. Kini, saya yang berangkat. Mataku menatap wajahnya. Saya menahan dalam-dalam perasaan saya.

* * *

Dari semua kejutan yang diterima saya memaknai bahwa saya kecil sekali. Sangat kecil.

Komentar Anda