Coba anda bayangkan berada di dalam pesawat terbang, sedang duduk-duduk tenang menunggu waktu sampai ke tujuan, tayangan di layar di depan Anda sedang dinikmati, tiba-tiba pesawat yang awalnya tenang-tenang, tiba-tiba drop dan disusul dengan suara pesawat yang bergemuruh untuk sekian detik dan Anda mendengar jeritan penumpang lainnya. Apa rekasi yang kira-kira Anda lakukan saat itu terjadi?
Problema
Satu minggu yang lalu saya bersama pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana perusahaan media kamiberada dalam situasi itu. Ketika kejadian itu berlangsung, Pemimpin redaksi saya berteriak sambil berusaha memegang sesuatu yang kokoh, meski ua tak menemukan apa pun.
Redaktur pelaksana saya yang seorang generasi milesial tak berteriak, tersenyum, dan tetap menikmati tayangan film di depannya. Ketika saya bertanya mengapa ia tampak tenang, maka ini jawaban yang saya dapati. “Seru sih awalnya, Mas. Tapi terus takut karena mulai mikir yang enggak-enggak dan kalau ini bukan main-main.”
Setelah mendapat dengan selamat, saya mem-posting kejadian di atas di media sosial. Dua wanita menceritakan ketakutan mereka mengalami hal serupa. Satu wanita lagi mengatakan kalau ia sudah berada di dalam pesawat, ia akan pasrah 100 persen.
Keesokan harinya saya menceritakan kejadian ini di kantor. Seorang staf yang menangani bisnis majalah dan termasuk generasi milenial malah menceritakan bahwa turbulensi itu merupakan salah satu yang disukainya. “Aku tu mikir turbulensi itu menyenangkan, Mas.” Mendengar penjelasannya itu saya yang sudah berumur ini jadi berpikir apa saya ini yang kurang waras.
Saya tak perlu menjelaskan bagaimana reaksi saya wakt itu. Hal yang justru membuat saya tertarik adalah bagimana kalau turbulensi itu terjadi di darat? Di dalam kehidupan sehari-hari ketika saya sedang dalam keadaan tenang, ketika semua keadaan sudah diperhitungkan, dan hasilnya sesuai dengan perhitungan. Kalau pekerjaan dan usaha berjalan baik-baik saja, kalau kesehatan sangat prima, tetapi tiba-tiba dengan tak terduga turbulensi kehidupan menerpa.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seorang wanita yang menderita kanker. Pada awalnya, ia aktif dan sangat aktif berolahraga. Ia seorang pelari maraton yang menjaga asupan dengan sempurna agar tetap sehat dan fit. Kemudian penyakit ganas itu menyerag dan membuatnya tak bisa melakukan aktivitas itu dan menjadi semakin kurus. Ia tak pernah menduga hal ini akan terjadi mengingat kedisiplinannya mengelola hidup.
Milenial vs Bangkotan
Senadainya semua yang tiab-tiba itu terjadi dalam kehidupan, apakah saya seharusnya menghadapinya seperti reaksi anak milenial yang menimati badai dan merasakan kesenangan di dalamnya? Atau saya pasah 100 persen dan ketakutan menjadi sirna sehingga saya dapat menjalaninya dengan rela? Atau saya panik dan ketakutan dan kemudian memutuskan untuk mencari pegangan yang kokoh untuk bersandar dan bergantung?
Apakah hasilnya akan berbeda kalau menghadapi turbulensi dengan cara generasi milenial dan generasi yang bangkotan seperti saya ini? atau apakah saya yang bangkotan sebaiknya harus seperti generasi milenial agar saya tak frustasi dan belajar menikmati keadaan terparah dan bisa mengatakan bahwa semua ketakutan itu mendatangkan kesenangan seperti sedang bermain ayunan?
Karena kata beberapa orang, atau beberapa nasihat yang pernah mampir di gendang telinga saya, bahwa bencana apa pun yang terjadi di dalam perjalanan hidup itu mendatangkan kebaikan untuk saya. Karena bencana itu bisa mengajarkan saya untuk lebih bijak kalau seandainya saya bukan orang yang suka berpikir sebelum bertindak.
Kalau mulut saya terlalu sering mengumbar janji dan sulit untuk ditepati, kalau komentar yang saya tulis di media sosial begitu pedasnya meski kebenarannya belum tentu ada di dalamnya, kalau saya hidup dengan uang yang saya peroleh dengan menulis berita yang dipelintir dan sama sekali tidak benar.
Katanya juga, kejadian buruk dalam hidup itu memberi saya kesempatan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kesombongan dan kepercayaan diri yang berlebihan akan kekayaan yang saya miliki, akan gaya hidup yang bisa menjadi batu sandungan, akan kekuasaan yang ada di tangan, dan akan kesehatan serta masa depan.
Supaya pada akhirnya saya ini bisa mengerti bahwa saya ini tidak diciptakan sebagai manusia egois yang hidup di dua dunia, dan menganggap kehidupan di dunia ini hanya sekedar main-main.
Manusia yang hanya menaikkan doa pertobatannya karena pesawat yang ditumpanginya mengalami turbulensi dan berpikir kemungkinan bisa jatuh dan binasa, tetapi setelah dapat selamat di darat, saya tetap menjadi pembuat onar yang tiada ampun dan pelakor yang tak penah berniat untuk berhenti mengganggu.[]
Ya Rasulullah, Datanglah Kepada Kami
By Farhan Syakur|2017-01-20T14:14:00+00:00January 20th, 2017|Mataair|
Sepuluh Tahun Menjadi Guru
By Farhan Syakur|2019-08-01T09:00:54+00:00August 1st, 2019|Tiang Bendera|
Moratorium UN 2016/2017 oleh Kemendikbud
By Farhan Syakur|2016-11-25T05:47:23+00:00November 25th, 2016|Tiang Bendera|