Prolog: Yang saya utarakan di sini adalah sari berita dari kegiatan sehari-hari di sekolah. Tak ada landasan teorinya.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Begitu kan kata pepatah. Saya senang pepatah ini karena setiap hari saya bertemu dengan para pahlawan itu. Para pahlawan yang berjuang demi bangsa dan negara atau setidaknya demi dirinya sendirinya.

Namun bagaimana pun juga seorang pahlawan tetap memiliki kegelisahan, bukan kehampaan ya. Mulai yang gelisah-gelisah karena gaji yang belum turun sampai status kepegawaian, ada kalanya kecewa atau sedih yang sangat emosional. Nah, kalau sudah begini bisa-bisa from hero to zero. Boro-boro mau Tutwuri Handayani-nya Ki Hajar Dewantara, mau berangkat sekolah aja dah gak semangat lagi.

Lalu, apa kegelihasan-kegelisahan yang sering dialami guru?

Beberapa guru keder ketika menghadapi Moneva. Padahal Moneva ini, singkatan dari monitoring dan evaluasi, dalam rangka pembimbingan dan pembinaan sekolah-sekolah. Menjadi keder karena guru seperti saya akan diperiksan ke-23 standar administrasi pembelajaran.

Mendapat jatah supervisi kelas memang bukan perkara yang mengenakkan sebab, siapapun dia, akan “dioperasi” seperti pasien. Namanya pasien ya harus nurut sama dokternya. Usaha untuk menjadi sesempurna mungkin tetap saja akan diklitik-klitik dan dikritik. Sialnya, saya cepat meradang kalo dinilai dengan pola seperti ini.

Dulu kami pernah menghabiskan sekian rim kertas hanya untuk moneva. Satu guru bisa menghabiskan seratus lembar bahkan lebih untuk menunjukkan bukti fisik kedua puluh tiga standar itu. Dan setelah moneva selesai, all the papers are justhiha hihi.

Koma (,)

Saya mengajar di sekolah full-day. Masuk jam tujuh tiga puluh dan pulang jam empat tiga puluh. Dengan segala dinamika di dalamnya, saya dan teman-teman tetap betah. Ada juga yang mengalah, barangkali karena masalah regulasi atau ambisi.

Selain kocokan arisan yang bikin hati dag dig dug dyar, ternyata tunjangan kinerja kami juga gak kalah dyar. Namanya saja tunjangan yang berbasis kinerja, ya wajarlah kalau tiap akhir bulan dag dig dug lihat slip gaji: dapet tukin gak ya.

Dengan segala keribetannya Manajemen menilai kami setiap akhir bulan. Lalu menulis rekomendasi ke bendahara nama-nama yang akan mendapatkan. Nah, selama ini saya selalu dapat tukin hingga seolah-olah hak tukin melekat seperti gaji. Ketika di slip gaji tidak tertera “Tunjangan Kinerja” duh kok hati jadi gemetar dan sesak. Pingin berontak tapi ya sudahlah. Kami hanyalah “anak-anak” yang sedang diajari lapang dada dan belajar intropeksi mengukur kelayakan kinerja diri sendiri.

Koma (,)

Beberapa tahun lalu, di bulan Ramadan, saya menerima panggilan dari nomor tidak saya kenal. Tanpa ada prasangka apa-apa saya menjawab. Sejak saya mengucapkan “halo” nada di seberang sana sudah agak meninggi. Tanpa basa-basi saya ditanyai beberapa hal terkait lembaga-lembaga nonformal yang pernah promosi di sekolah. Kepada orang di sebrang sana saya sampaikan jawaban yang diplomatis dan sedikit abu-abu.

Rupanya, jawaban saya belum memuaskan. Saya semakin ditanyai dan dinasehati. Rasanya ingin segera obrolan ini disudahi. Saya tak mungkin menutup telepon begitu saja. Awalnya saya berasumsi bahwa orang di seberang sana adalah salah satu walimurid. Kalau saya tidak sopan bisa-bisa dilaporin ke Yayasan.

Setelah sekian lama ditanya-tanyai saya mulai mengenal suara lawan bicara saya. Apalagi setelah menyebutkan beberapa istilah yang sangat familiar. Setelah menyadari sosok yang mengajak saya bicara selama ini, lutut menjadi layu dan detak jantung meningkat. Saat itu juga suara saya jadi pelan menandakan takzim.

Setelah telepon ditutup saya membatin, begini rasanya dimarahi Yayasan lewat telepon.

Koma (,)

Hingga suatu hari kami membicarakan berita yang berseliweran ke sana kemari. Berita tentang siswa yang memukul tengkuk gurunya, siswa yang memukul gurunya dengan kursi, orangtua yang memenjarakan guru anaknya, dan masih banyak lagi. Kami benar-benar merasa prihatin.

“Semakin banyak anak-anak yang berani melawan gurunya.” Kata teman saya.

“Sejak kampanye HAM dan perlindungan anak menguat, anak-anak jadi merasa berhak berbuat apa saja.” Kata teman saya yang lainnya. Anak-anak di sini pastinya anak muridnya.

Ada juga yang lebih analitis bilang begini, “Anak-anak menjadi korban dari arus besar yang mereka sendiri gak paham. Mereka, bahkan mungkin kita juga, gak sadar.”

Tak hanya di situ. Kami pun membicarakan tentang guru yang tak ada di ruang kelas, guru yang mencabuli muridnya, guru yang tertanggakap melakukan tindakan mesum, dan lain sebagainya. Di tema ini kami banyak diam. Memang perih rasanya menelanjangi diri sendiri seperti ini.

Saya mengambil simpul-simpul kecil dari obrolan macam begini. Sejujurnya, memang ada arus besar yang tak kita sadari. Tidak bisa kita lihat secara partikular. Dunia pendidikan hanya terkena imbasnya, tersublim dalam sikap memberontak, tidak fokus, kepekaan yang menipis dan lainnya. Arus besar itu terlihat, namun blur,dalam perubahan bersosial kita, kebijakan politik, sentimen masyarakat, dan lainnya.

Pendidikan (baca: sekolah) menjadi kambing hitam, yang dipersalahkan, karena dinilai gagal menanam nilai-nilai luhur pada generasi bangsa. Sekolah yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam pendidikan pun sedang kalap. Fokus pendidikan tidak jelas. Semua-muanya ingin digarap dan dituntaskan sendiri. Kita luput mempertanggungjawabkan diri kita sendiri sebagai masyarakat karena sejatinya pendidikan adalah gotong royong dari semua aspek kehidupan, bukan serah bongkokan dari orangtua ke sekolah.

Lebih spesifik lagi, tenaga pendidik kita banyak yang kehilangan fokusnya. Datang ke sekolah bukan semata-mata mengajarkan ilmu yang dimiliki. Ada embel-embel yang secara perlahan menyesakkan hati. Padahal, sudah menjadi guru saja kita patut sangat bersyukur. Embel-embel ini bisa terwujud dalam berbagai bentuk: kejar-kejaran nominal 24 jam untuk sertifikasi, ceperan untuk beli rokok, mesin cuci baru milik tetangga sementara kita masih mencuci secara manual, dan lain sebagainya. Ya begitu, embel-embel di luar kegiatan pembelajaran yang sedikit demi sedikit menggerus ketulusan dalam mengajar.

Saya selalu mengingat-ingat nasehat KH. Maimun Zubair kepada para guru di negeri ini: “Yang paling hebat dari seorang guru adalah mendidik dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya. Namun hadirkanlah gambaran bahwa satu di antara mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga.” Dengan begitu, yang berat-berat dalam urusan pendidikan ini akan menjadi ringan.

Epilog: Selain sari berita dari kegiatan sehari-hari di sekolah, kegelisahan seperti ini semoga segera terobati.

Komentar Anda