Membaca karya sastra—entah itu puisi, cerpen, atau novel—seperti sedang membaca secarik sisi kehidupan manusia. Ada keyakinan bahwa karya sastra merupakan mimesis dari kehidupan, setidaknya yang ada di mata pengarang. Ketika sebuah karya sastra selesai ditorehkan lalu dibaca lalu dinikmati, jadilah ia bahan untuk rumpi-rumpi di warung kopi.
Warung kopi menjadi tempat yang asik untuk mendiskusikan karya seni. Termasuk sastra. Di sana, segala makna jadi mudah ditemukan.
Lagi pula, membaca karya sastra ibarat pengembaraan. Bukan hanya mengembara di permainan plot-plot cerita, membaca karya sastra seperti berkenalan dengan diksi-diksi kata yang bikin gemes.Saya sering senyum-senyum takjub membaca penulis-penulis yang cadas memilih diksi.
Yang seperti itu barangkali paling sering ditemui di puisi.
Pernah baca puisi-puisi Joko Pinurbo? Pertama kali membaca puisi Jokpin saya langsung kesengsem. Bahasa puisinya bernas. Saya seperti ditelanjangi, ya ditelanjangi sebuah puisi. Dipermainkan oleh kata-kata. Pingin marah tapi memang begitu adanya.
Seorang pembaca masih bisa menolak sebuah karya sastra. Juga ide di dalamnya. Jangan mau dicekokin. Tapi juga bisa menerima dengan lapang dada dan besar hati. Tapi ya tetap aja jangan mau dicekoki.
Karya sastra kerap sekali menghasut.
Pernah baca Saksi Mata-nya Seno Gumira Ajidarhma, atau Tetralogi Pramuda Ananta Toer, Tetralogi Dangdut Putu Wijaya, Larung, Ronggeng Dukuh Paruk? Dan masih banyak lagi. Selesai membaca muncullah kegemasan.
Konon, di pulau Buru, ada seorang tahanan melarikan diri. Itu terjadi tak lama setelah mendengar kisah Bumi Manusia. Ketika ia berhasil ditangkap kembali dan ditanyai, ia menjawab, “Saya ingin menjadi Minke.”
Kalau tak suka dengan kisah-kisah ‘ngeri’ seperti itu ada alternatif lain. Baca Supernova, Ayah, Laskar Pelangi, Balada Gothak Gathuk, Lukisan Kaligrafi. Tapi ujung-ujungnya sama saja. Selesai membaca muncullah kegemasan.
Apa mungkin sebab kegemasan setelah baca buku sastra, materi susastra di sekolah-sekolah minim sekali? Ia ditempatkan di pelajaran Bahasa Indonesia disisipkan di salah satu kompetensi dari puluhan deret kompetensi yang harus diraih siswa. Takut kalau para siswa menjadi gemes, dan sekolah tak mampu mengendalikan kegemasannya itu. Mungkin ....
Suatu hari saya ketemu salah satu alumni. Ia sedang kuliah di Jogjakarta. Penampilannya sungguh berbeda tak seperti setahun lalu saat saya mengajarnya. Tiba-tiba saya ditanyai tentang Minke? Sudah baca rupanya, batin saya. Saya tanya kembali: Minke dengan Annelis atau Minke dengan ayahnya? Lalu kami diskusi.
Di kesempatan yang lain ada siswi yang meminjam Bumi Manusia. Berat sekali rasanya meminjamkan buku itu. Dia terus meminta. Apa boleh buat, tapi saya memberi syarat: Silahkan dibaca sampai selesai, setelah selesai kita bicara. Sepekan setelah itu dia kembali. Menyerahkan buku sambil berucap terima kasih. Saya tanya bagaimana, dia jawab, biasa saja. Hhmmm ….
Beberapa waktu yang lalu, di acara Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS, a.k.a. MOS), guru Bahasa Indonesia kami merilis antologi cerpen yang ditulis anak didiknya. Bukan karena memenuhi tugas mata pelajaran tapi karena memang cinta. Saya bangga tetapi kemudian teriris sedih: aku sudah bikin karya apa?
Meski demikian, sastra akan tetap di sana. Diselipkan di beberapa lembaran saja. Biarlah ilmu-ilmu yang lain yang menjanjikan prospek kerja. Dan biarlah susatra yang tak perlu berjanji karena tempat ada di akal budi.