Pendidikan di Indonesia tengah menghadapi pelbagai masalah. Sistem pendidikan, peningkatan sumber daya, dan juga jaminan mutu. Permasalah internal belum terselesaikan dengan baik, gangguan dari luar dunia pendidikan semakin menghimpit. Kita bisa mengambil satu contoh kasus dalam dunia pendidikan: bullying. KPAI, sebagaimana diberitakan tempo.co, menyebutkan dari 161 kasus, 41 kasus di antaranya adalah kekerasan dan bullying. Sorotan bullying yang terjadi di dunia pendidikan tidak seharusnya diarahkan kepada sistem dan institusi pendidikan saja. Lebih luas lagi, akar masalah itu bisa saja muncul dari aktifitas after schoolpeserta didik.

Kita sangat menyadari bahwa anak adalah peniru ulung. Apa yang ia lihat dan menarik akan dipraktikkan, diulang kembali, hingga mengalami internalisasi dan melekat menjadi karakter. Tentu kita senang dan bangga ketika karakter yang terbangun adalah karakter yang positif. Namun, bagaimana kalau ternyata perilaku-perilaku yang dilihat di sekitarnya didominasi prilaku negatif?

Kebiasaan meniru itulah yang mungkin memicu peningkatan kasus kekerasan. Sementara itu, saat ini, arus informasi berseliweran tanpa kontrol, tanpa filter yang baik. Setiap kali ditemukan kasus perisakan fisik (physical bullying) dalam pendidikan, misalnya, informasi itu mudah sekali menyebar. Tidak hanya dalam bentuk reportase bahkan rekaman video kekerasannya pun turut menyebar. Anak-anak mengakses melalui gawai dan internet. Ikut-ikutan berkomentar. Lalu, ia pun ikut melakukan perisakan di dunia maya (cyber bullying).

Bullying memang berpeluang terjadi di lingkungan sekolah. Berbagai latar belakang peserta didik dan orang tua menjadi satu dalam satu wadah. Berkumpul dalam waktu yang lama. Dalam komunitas perilaku ingin menjadi superior selalu muncul. Bisa muncul pada siapa saja. Oleh karena itu, sekolah dituntun membangun sistem pendidikan yang kondusif, aman dan nyaman. Sebab lingkungan sekolah berimbas langsung terhadap kesuksesan pembelajaran. Terlebih lagi, lingkungan sekolah berperan secara dominan dalam pembentukan karakter para peserta didik.

Bagaimana pun juga, pendidikan tidak mungkin hanya satu arah—menitikberatkannya pada sekolah. Padahal, orang tua memiliki peran sama pentingnya dalam pendampingan pembelajaran. Seperti berkomunikasi dengan pihak sekolah, melihat perkembangan anak, mengkonformasi kegiatan belajar kepada anak, menanyakan materi-materi yang dipelajari supaya anak terbiasa mengambil konsklusi dan menyampaikannya kembali, dan masih banyak lagi. Lebih ekstrim lagi, kata seorang teman, jangan sepenuhnya percayakan pendidikan anak kepada sekolah sebab orang tualah yang sebenarnya memikul tanggung jawab pendidikan.

Oleh sebab itu, orang tua hendaknya merencanakan pendidikan anak dengan baik dan mencari sekolah yang cocok. Apa yang perlu kita perhatikan sebelum memilih sekolah? Empat kiat berikut semoga dapat membantu pilah-pilih sekolah ya…

Memahami Kebutuhan Pendidikan Anak

Hal ini berkaitan dengan fase pendidikan anak di usia balita, anak-anak, remaja, dan dewasa. Masing-masing memiliki kebutuhan dan gaya belajar yang berbeda.

Fase pendidikan anak-anak tentu berbeda ketika masa balita dan juga remaja. Tapi kadang waktu berjalan begitu cepat hingga tidak terasa anak telah remaja. Sayangnya, cara pendidikannya tidak mengikuti fase pertumbuhan anak dan lebih buruk lagi masih menganggap anak remajanya layaknya anak kecil.

Hingga akhirnya menuntaskan pendidikan tingkat pertama, kemungkinan kelak akan menjadi apa masih sangat terbuka lebar. Maka, pendidikan usia dini hingga tuntas tingkat pertama adalah masa emas pendidikan. Membangun pondasi yang kokoh pada fase-fase ini sangatlah penting. Menanamkan karakter dan etika, semangat meraih cita-cita, berjiwa kompetitif sekaligus memiliki kepekaan, dan lain sebagainya.

Apakah sekolah mampu menjalankan semuanya? Atau tanpa sekolah, orang tua mampu menanganinya?

Kenali Sekolah dengan Baik

Setiap sekolah memiliki trandmark dan quality assurance masing-masing. Lalu, seberapa jauh kita mengenal sekolah tempat anak kita mengenyam pendidikan?

Sekolah tentu memiliki keunggulan di satu bidang dibanding dengan sekolah lainnya. Sekolah yang dikenal dan terbukti unggul dalam bidang akademik belum tentu unggul di bidang lain. Sukses dalam pendidikan di salah satu jurusan ternyata tidak menjamin sukses di jurusan lainnya. Sehingga ketika kita mengenal dengan baik atmosfir sekolah kita pun dapat menata arah kritik, saran, dan juga perhatian kita sebagai stakeholder selama tiga tahun itu.

Dari mana kita mendapatkan informasi itu?

Di antara proses penerimaan peserta didik biasanya terdapat sesi interview calon wali murid. Manfaatkanlah momentum ini untuk berdiskusi. Menjalin komunikasi dua arah antara sekolah dan calon wali murid. Sekolah menelusuri latar belakang calon peserta didik maka semestinya calon wali murid pun melakukan penelusuran lebih jauh tentang sekolah.

Dalam sesi interview yang sering saya hadapi, kebanyakan orangtua memilih diam atau setuju dengan penjelasan dari pihak sekolah. Kalau tohada pertanyaan, arahnya tentang outcome lulusan sekolah. Barangkali muncul kekhawatiran kalau-kalau tidak akan diterima karena sudah banyak pertanyaan di awal.

Selain pada sesi interview, tidak ada salahnya untuk mengambil kesempatan berbincang dengan sumberdaya sekola lainnya—dengan guru atau penjaga sekolah. Menanyakan berbagai perihal dan memperhatikan respon dari masing-masing. Bahkan jika perlu kita bisa langsung bertanya-tanya dengan salah satu peserta didik yang kita temui di sekolah tersebut.

Menyamakan Visi

Seberapa sering kita menanyakan visi sekolah ketika observasi sekolah? Barangkali tidak banyak dari kita yang melakukannya. Lebih naif lagi apabila pilihan sekolah didasarkan pada “katanya”.

Mengingat kita tidak dapat memenuhi keinginan kita mendapatkan sekolah yang sempurna dalam berbagai bidang, maka yang perlu kita lakukan adalah mencari arsiran kesamaan/kemiripan visi. Sisanya kita mencari tambalan.

Sebagai orang tua kita tidak bisa serta merta mengucapkan nada-nada skeptik semisal “saya kan sudah bayar mahal, kok hasilnya seperti ini.” Lain halnya dengan sekolah yang seharusnya berucap “Orang tua telah mengeluarkan biaya yang besar, seharusnya hasilnya lebih baik dari ini.” Dari pada melihat selisih dan perbedaan di sana lebih baik melihat sisi kesamaan sehingga sekolah dan orang tua bisa saling bahu membahu menjalankan pendidikan yang terbaik untuk anak.

Kita bisa membayangkan kekacauan yang bakal terjadi apabila orangtua memiliki visi bahwa pendidikan terbaik untuk anak adalah pencapaian akademik yang baik sehingga dapat melanjutkan ke sekolah favorit. Maka untuk mencapai visi tersebut, anak mengikuti berbagai les dan privat. Sementara, sekolah mengedepankan pendidikan karakter dan religi sebagai visi mereka. Maka, rancangan kurikulum, program kegiatan, dan aktifitas pembelajaran diarahkan untuk pencapaian visi tersebut. Lalu, suatu hari terjadi saling tuntut karena tidak sesuai ekspektasi? Entahlah.

Kurikulum Sekolah

Setiap satuan pendidikan harus memiliki kuriukulum—sebuah dokumen penting yang menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan. Membicarakan kurikulum tidak terbatas membicarakan mata pelajaran, nilai, dan bagi rapor. Lebih jauh dari itu, kurikulum sekolah memuat rancangan kegiatan pembelajaran kurikular dan ektrakurikular, pola komunikasi, penangan peserta didik, dan lainnya.

Beberapa sekolah, selain mempublikasikan visi dan misi, juga mempublikasikan kurikulumnya. Ada yang secara gamblang begitu juga sebaliknya.

Namun, kita sering juga tidak memperhatikan hidden curriculum. Istilah ini digunakan untuk mewakili berbagai bentuk pembelajaran, kegiatan, penanganan, yang secara etik tidak bisa dicantumkan dalam dokumen. Hal seperti sudah pasti sangat berbeda satu sekolah dengan sekolah lainnya.

Jadi, dengan memahami empat hal di atas semoga kita semakin yakin dan tepat memilih sekolah untuk pendidikan anak-anak kita.

Komentar Anda