Pilpres 2019 ini telah memakan banyak energi. Semua orang, di mana-mana, sampai di tempat yang seharusnya waguuntuk membicarakan politik pun orang-orang tetap membicarakannya. Polarisasi dan politik identitas menguat. Dengan mudah kita menemukan orang-orang jadi mudah emosi, membela sekaligus mencaci.

Kita bisa melihat produksi hoaks dan kebencian meningkat. Saya tidak pernah melihat hal serupa sebelum pilpres yang lalu. Saya kira luka pada pilpres yang lalu akan sembuh tapi nyatanya tidak. Sekarang justru menjadi ajang balas dendam.

Setiap hari, menuju ke hari pencoblosan, atmosfir menjadi panas. Apalagi di dunia maya. Whatsapp group, twitter, terutama facebook. Orang-orang menjadi egois, hanya mau mendengar apa yang disuka. Bertemu dengan sesama pendukung, cinta dan pujian memuncak. Bertemu dengan yang bersebrangan, benci dan hujaman menusuk. Untung kebanyakan hanya terjadi di dunia maya.

Lalu, akankah yang terjadi di dunia maya terjadi pula di dunian yata? Ada berbagai kemungkinan. Ketakutan dan juga harapan. Berikut kemungkinan yang akan terjadi pacsa pilpres 2019:

 

Kemungkinan pertama: Chaos

Sesaat setelah hasil quick-count bertebaran di mana-mana, bertebaran pula kecurigaan. Muncul agitasi. Masing-masing tim sukses mengaktifkan rencana mereka: rencana kalau menang dan rencana kalau kalah. Tinggal menunggu komando. Tinggal menunggu triger. Terus duar!!!

Ternyata benar-benar ada pengerahan masa. People power. Sebagaimana yang pernah didengungkan mantan bapak reformasi, Amien Rais. Pertikaian terjadi. Militansi dan fanatisme yang ditanam selama ini tidak menutup kemungkinan menjadikan orang menjadi gelap mata batin. Belum lagi orang-orang hipokrit dan opurtunis. Keributan semakin memanas dan—paling buruk—mengancam integrasi bangsa.

Ngeri. Kepala saya tertimpuk batu di salah satu kerusuhan. Saya jatuh pingsan. Saat sadar ternyata Indonesia berubah menjadi negara federal. Rupaya begitu cara kerusuhan ini teredam: berbagi kekuasaan.

 

Kemungkinan kedua: Hompimpah

Hujan deras terus berlangsung. Tak kunjung reda. Mulai rabu sore setelah penghitungan di TPS-TPS selesai. Banjir besar melanda. Air bah. Bah bah bah. Hingga kartu suara yang telah dihitung terendam, luntur dan rusak, sobek. Orang-orang tidak percaya dengan rekap digital.

Petahana ingin melanjutkan kekuasaan tapi ditentang habis-habisan oleh penantang. KPU menyarankan Pemilu ulang tapi modal telah habis. Pertikaian terjadi. Masing-masing menyadari mereka telah lelah tapi sangat sadar tidak mau menyerahkan kekuasaan. Lalu Rocky Gerung, dengan kecerdasannya yang paripurna, mengusulkan untuk hompimpah. Lucunya, kubu petahana dan penantang setuju. Masing-masing setuju. DPR sama sekali tidak memprotes. KPU lebih senang lagi sebab mereka tidak perlu menguras banyak tenaga.

Sayangnya, muncul pertikaian baru. Masing-masing kubu tidak ada yang setuju model hompimpah mana yang akan dipakai. Ala nusantara, gunting-batu-kertas, atau undian ala-ala Arab jahiliah.

 

Kemungkinan ketiga: Akur

Menyadari kedatangan bulan Ramadan tidak baik menjalani puasa dengan permusuhan. Tiba-tiba, tanpa sepengetahuan KPU dan Bawaslu, muncul sosok yang berhasil mempersatukan capres cawapres petahana dan penantang ini. Plus ketua pemenangan masing-masing kubu. Mereka dipertemukan dalam satu ruang. Penuh canda dan tawa. Akrab sekali. Penuh permaafan dan kekeluargaan. Yang terjadi kemarin-kemarin itu hanya permainan. Seperti kata kitab suci: dunia ini hanyalah sekedar permainan.

Yang utama adalah persaudaraan. Satu bangsa yang seharusnya mesra. Dan orang-orang ini tulus adanya. Pun sosok yang mempertemukan mereka. Barangkali ia terinspirasi KH Ma’ruf Amin yang kharisma relijinya tampak bercahaya atau barisan Sandi yang selama ini terlihat sangat islami.

Tidak ada lagi cebong dan kampret. Yang ada adalah Indonesia.

 

Kemungkinan Keempat: Maapan Maapin

Para buzzer itu terinspirasi junjungannya. Lalu mereka mensortir dosa-dosa mereka sendiri. Dosa kepada sesama. Satu persatu mereka menghubungi. Juga dihubungi. Saling bermaaf-maafan. Sebab, tidak mungkin membangun negara dengan pertikaian.

Yang lebih religius lagi orang meminta maaf karena takut dimintai pertanggungjawaban. Di akhirat kelak.

Memaafkan, saling memaafkan, adalah langkah besar. Semacam menjadi digdaya tanpo aji.Kedigdayaan yang tak membutuhkan ajian. Karena kepentingan yang lima tahunan ini sarat dengan intrik, curiga, drama, dan juga kecurangan. Tak hanya keringat yang menetas. Air mata pun tumpah.

 

Semua itu hanya kemungkinan-kemungkinan yang tiba-tiba muncul saat saya keramas tadi pagi. Kenyataannya, ya kita lihat nanti.

Komentar Anda