Perbendaharaan saya bertambah terkait kata zonasi. Dulu, ketika mendengar kata zonasi pemaknaan saya mengarah pada isu Palestina-Israil. Dalam Dunia dalam Berita sering disebutkan zona aman, zona tempur, dan lain sebagainya. Juga, kata zonasi sering juga saya kaitkan dengan mitigasi bencana. Setidaknya setelah Merapi merenggut mbah Marijan—yang sebenarnya terjadi adalah kesalahan saya tak dapat membedakan penggunaan kata zona/zonasi dengan kata radius.
Belakangan kata zonasi lebih sering lagi terdengar. Penyebabnya adalah penerimaan peserta didik baru untuk sekolah-sekolah negeri di Negeri yang kita cintai ini.
Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang zonasi penerimaan peserta didik baru dinilai telah merepotkan banyak pihak. Calon peserta didik, orangtua, hingga institusi. Padahal tujuan zonasi ini sungguh mulia. Sayangnya, banyak nada sumbang tentang zonasi menggema di sana sini. Pesimis dan kekecewaan ini mestinya menjadi cermin bagi pak Menteri.
Faktanya, kebijakan ini bermula pada tahun 2017 yang lalu. Tahun ini adalah untuk yang ketigkalinya.
Berulangkali disebutkan bahwa kebijakan zonasi ini bertujuan untuk pemerataan pendidikan, mendobrak bonafitisme sekolah favorit, dan mencoba membentuk atmosfir pendidikan baru, pendidikan yang egaliter.
Lantas, kenapa masyarakat masih banyak yang memprotes?
Banyak aspek yang mesti dipelajari lebih lanjut sebab permasalahan-permasalahan itu tidak muncul begitu saja. Solusi balsem Kemendikbud dengan cara memperkecil prosentase zona dari 90% menjadi 80% ditanggapi beragam. Selain itu, zona domisili ini pun memunculkan tafsir lain, yakni domisili tidak harus diartikan dengan penempatan KK asalkan pak RT dan pak Lurah berkenan menerbitkan surat keterangan domisili.
Obat Balsem Pemerataan Pendidikan
Ada sekolah biasa, ada sekolah luar biasa. Ada sekolah unggul, ada pula sekolah favorit.
Sekat di antara label-label institusi itu terlihat tinggi dan tajam. Membuat keder satu sama lain. Lalu, siapa yang menciptakan label itu?
Suka tidak suka, demikianlah adanya. Label itu sudah mendarahdaging di benak khalayak. Rekomendasi demi rekomendasi, prestasi, rotasi guru dan kepala sekolah, yang nomor wahid selalu ditempatkan di sekolah-sekolah favorit. Dan, inilah yang ingin diruntuhkan oleh Kementeri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhajir Effendi. Lalu diterbitkanlah peraturan PPDB itu: sistem zonasi.
Inilah obat balsem pak menteri.
Padahal, pemerataan itu bisa dilakukan dengan banyak cara yang lebih elegan. Bukan dengan membatasi penyebaran peserta didik, tetapi seharusnya dengan memperluas penyebaran tenaga pendidik.
Guru berprestasi–saya membicarakan para ASN–pastinya siap membangun pendidikan di manapun ia ditugaskan. Atau setidaknya siap memberi bakti untuk negeri, khususnya dalam dunia edukasi. Semangat dedikasi itu bisa dibuktikan dengan memberikan “misi” kepada mereka untuk mengangkat mutu sekolah-sekolah yang tak dianggap favorit itu. Khususnya kepala sekolah.
Kepala sekolah adalah penjamin mutu sekolah yang bermula dari mutu manajemen yang ia terapkan. Sebab ia ditopang oleh guru-guru yang telah mendapatkan sertifikasi mutu. Mereka tentunya perlu menunjukkan pembuktian diri, tidak mencari zona aman berkumpul di satu institusi. Singkatnya, guru-guru berprestasi disebar dan ditempatkan di sekolah-sekolah yang lebih membutuhkan demi terlaksananya pemerataan tersebut. Kepala sekolah yang berpestasi pun demikian. Pemerintah mestinya konsen terlebih dahulu pada SDM tenaga pendidik dan kependidikan.
Selain tingkat manajerial, pemerataan mutu pendidikan dapat ditingkatkan melalui bimbingan teknis, workshop dan training, atau diskusi-diskusi ilmiah, idealis, dan juga pragmatis teknis.
Adalah program monitoring dan evaluasi (moneva) oleh Dinas Pendidikan setempat yang rutin dilakukan setiap tahun di mana hasilnya dapat menjadi tolok ukur mutu guru dan institusi. Atau hasil USBN dan UNBK untuk melihat penyebaran kualitas output. Dan masih banyak lagi cara untuk mengetahui mutu pendidikan sehingga kebijakan-kebijakannya tepat guna.
Sebuah Pembuktian Output
Tahun pelajaran 2019/2020 adalah fase penting bagi generasi zonasi. Sebab tahun pelajaran ini rekrutmen peserta didik melalui sistem zonasi untuk pertamakalinya akan mengikuti ujian: USBN dan UNBK.
Selama ini masyarakat melihat keberhasilan pendidikan suatu institusi bertolak dari hasil UN, outcome lulusan, prestasi siswa di berbagai ajang perlombaan seperti OSN atau O2SN. Sekolah-sekolah favorit diuntungkan dengan seleksi input peserta didik yang ketat, baik seleksi jalur tes/akademik maupun jalur prestasi. Setidaknya perebutan prestasi-prestasi itu semakin terbuka lebar sebab potensi peserta didik yang lebih unggul.
Dilihat dari sisi ini, pemerataan pendidikan menemui sasarannya yang tepat. Tidak boleh dimonopoli sendiri. Bonafitisme sekolah unggulan harus dibatasi. Para peserta didik itu tidak boleh ditarik mendekati sekolah-sekolah prestisius di negeri orang. Potensi-potensi peserta didik itu harus berkembang, matang dan membuahkan hasil di “tanahnya” sendiri.
Selamat belajar, Adik-adikku sekalian. Belajarlah yang tekun. Kalau ada yang mengatakan "mainmu kurang jauh" gara-gara zonasi maka jawablah "Melalui smartphone aku menelusuri penjuru dunia." **
Seperti menurunkan tensi persaingan