Saya menjadi homeroom teacher. Begitulah sekolah ini menyebutnya. Wali kelas, begitulah umumnya kita menyebut.
Apa yang membedakan keduanya?
Saya kira tugas pokoknya yang membedakan satu sama lain. Saya pernah menjadi wali kelas di tingkat sekolah dasar selama tiga tahun. Beberapa hal pokok berbeda dengan kewalikelasan yang saya alami di sini. Dan saya tidak ingin memperdabatkan keduanya. Saya hanya ingin menceritakan pengalaman saya menjadi home room teacher selama satu tahun lebih sedikit.
Usai perhelatan Ujian Nasional tingkat menengah atas saya mutasi ke Ar Raihan. Menggantikan home room teacher sebelumnya yang resignkarena pernikahan lalu digondol separuh jiwanya ke Ibu Kota. Permasalahannya bukan sekedar menggantikan tetapi ada arsiran yang kompleks yang mesti saya hadapi.
Yang pertama tentu saja masalah kedekatan. Saya menggantikan guru putri yang secara kedekatan dengan para siswa lebih touching. Maka usaha terbesar saya pada saat itu adalah mengambil hati siswa. Tidak hanya sekali atau dua kali mendengar keluhan hanya karena metode penanganan permasalahan di kelas berbeda dengan home room sebelumnya. Lantas mereka berucap “Hmm… gak asyik. Enak dengan missYeyen.”
Lalu saya menghadapi permasalahan yang kedua, selalu dibanding-bandingkan. Masya Allah… Kamu tahu kan gmana rasanya dibanding-bandingin terus?. Padahal seribu langkah seribu cara sudah saya coba. Beberapa teman memberikan masukan.
Begini misalnya, mengenali lebih detail setiap siswa. Siapa bersama gangnya siapa. Siapa menjadi pengaruh bagi siapa. Lalu saya membuat pemetaan, mengelompokkan mereka ke dalam kotak-kotak kecil di buku agenda. Mulai berbicara dengan anak-anak sudah saya prioritaskan, mengambil ide dari mereka, memberi penghargaan, terlibat ke dalam aktifitas yang mereka sukai: main game, ice breaking, nonton film, dan bersosial media. Merekalah yang membuatkan akun twitter saya. Saya masih ngetwit sampai sekarang, mereka sudah off entah sejak kapan.
Hingga akhirnya agenda pembagian rapor semester empat tiba. Saya harus membuat laporan dan menyampaikannya dalam parent gathering.Satu persatu. Permasalahannya, saya belum genap dua bulan menjadi home room teacher sementara saya tidak menerima ‘warisan’ data apapun tentang perkembangan mereka. Banyak yang menerima kondisi dan penjelasan saya waktu tapi ada juga yang tidak permisif. Pertemuan itu memberi pelajaran yang sangat berharga.
Kelas Itu Bernama Damascus Freaks
Bukan saya yang menambahi kata ‘Freaks’ di kelas Damascus. Pernah sekali saya tanya dari mana kata ‘Freaks’ berasal. Tak ada jawaban pasti. Tapi Indah Syafira Zatadini pernah menjawab begini: Kelas kita kan memang freaks.
Memang. Dan di kelas IX saya merasakannya. Seperti gap antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.Ya Salam, urusan ngegang ini gak selesai-selesai. Yang satu terlihat ingin menonjol dan yang satunya pasif bukan main. Beginilah… Kelas DF memang didominasi perempuan.
Tahun 2011 Ballroom Novotel Hotel menjadi saksi upacara wisuda lulusan pertama Ar Raihan. Mereka menyebar ke berbagai sekolah. Ada yang bertahan di Bandar Lampung dan tak sedikit pula yang ke Jawa. Ada walimurid yang tetap bertegur sapa, memberi kabar perkembangan putra-putrinya melalui blackbarry. Yang dulu sangat pendiam kini menjadi vocal dan aktif di kelasnya. Ada yang tetap aktif di organisasi seperti semasa di Ar Raihan. Juga, ada yang berlanjut study abroad melalui pertukaran pelajar. Duh, membanggakan sekali.
Lama tak terdengar kabar dari mereka. Damascus Freaks FB group juga sepi dari saling kirim kabar. Ada yang benar-benar lenyap tak berkabar. Ada yang clang-cling muncul. Lalu datang kabar bahwa ada yang sudah mulai berdikari, ada yang telah lulus sarjana lantas melanjut ke pascasarjana, dan ada yang menikah. Duh, membanggakan sekali.
Hubungan homeroom teacher dengan siswa siswinya memang spesial. Terasa akrab. Keakraban yang mungkin menurut oranglain terasa tidak sopan. Bagi kami, beginilah cara kami menjalankan proses pembelajaran.
Ayo, kita adakan reuni!