By |Published On: April 28th, 2020|0 Comments on Keberkahan Study from Home|Views: 179|

Ketika surat eradan yang menyebutkan bahwa selama Ramadan ini kegiatan belajar ditiadakan, ingatan saya kembali ke sembilan belas tahun yang lalu, kepada Gus Dur alias Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia yang sangat saya kagumi itu.

Yang saya ingat dari kebijakan beliau saat itu adalah meliburkan sekolah selama Ramadan. Tujuannya adalah supaya selama Ramadan para siswa lebih banyak beribadah dan mengaji.

Pun pada tahun ini, sembilan belas tahun berlalu, meskipun dilatarbelakangi permasalahan yang berbeda, tidak ada alasan yang patut kita sematkan bahwa hikmah dari pemberhentian kegiatan belajar ini adalah supaya kita semua berupaya untuk meningkatkan intensitas tilawah Alquran dan mutu ibadah kita.

Lantas, apakah pembelajaran di sekolah bukan termasuk ibadah?

Siapapun yang menjawab kegiatan pembelajaran di sekolah bukanlah ibadah barangkali ia lupa dengan kisah Kanjeng Nabi Saw. ketika beliau keluar dari Masjid Nabawi. Junjungan kita itu menemukan dua kelompok di sana. Yang satu kelompok ahlu zikir dan satu lagi kelompok uhlu ilmi. Alih-alih mengikuti kelompok yang sedang membaca wirid, Rasulullah Saw. mendekati kelompok lainnya dan duduk bersama mereka membahas ilmu.

Itulah sirah Rasulillah Saw. Menggambarkan keutamaan menuntut ilmu yang sangat tinggi. Para ulama pun telah membahasnya dalam kitab-kitab turats yang tak terhitung jumlahnya.

Secara pribadi saya merasakan diri saya sudah terlalu sering berada di luar. Intensitas saya mendidik anak sendiri tidak sebesar mendidik anak-anak di luar sana. Cahya yang sudah bisa membaca itu adalah jerih payah isteri saya yang dengan besar hati memilih untuk di rumah. Sama sekali bukan buah dari jerih payah saya. Dan saya ingin memulainya meskipun harus dengan berlari.

Ramadan ini memberi saya waktu sangat luang. Hikmah dari pandemi yang mengerikan itu. Pembelajaran yang selama ini saya kerjakan di luar kini beralih di rumah, menjadi kelas daring. Nyatanya, pembelajaran daring ini masih menyisakan waktu yang banyak untuk melihat kedua anak saya tertawa dan menangis. Dan direpotkan oleh mereka berdua menjadi terasa indah

Yang lalu-lalu saya tidak tahu bagaimana Cahya mengenal salat tapi kini saya bisa menyaksikannya sendiri dia bersujud di hamparan sajadah samping saya. Ditirukan adeknya, Owi. Atau saat dia belajar membaca Alquran, berhitung, menulis dan menggambar. Dari yang semua dikuasai, peran saya cukup jauh.

Sebulan, mungkin akan dua bulan, pelaksanaan belajar dari rumah ini benar-benar membuat saya mempelajari banyak hal. Terutama tentang “terminal” hidup saya.

Awalnya membayangkan kerja dari rumah ini sesuatu yang mengerikan. Bukan hanya target pembelajaran yang jadi amburadul, ritme yang selama ini dijalani pastinya berubah. Banyak hal mesti disesuaikan. Dan ada dua hal yang mungkin mendesak untuk dilakukan.

Yang pertama adalah penyesuaian ritme. Di sekolah, fokus benar-benar terarah. Hanya ada interaksi, guru-siswa. Tapi dalam belajar dari rumah ini bukan sekedar guru-siswa yang terhubung secara daring, di depan mata ada anak dan isteri, cucian, ruangan yang belum disapu dan lainnya.

Di awal-awal kegiatan belajar dari rumah saya masih menyempatkan diri ke sekolah. Di sana saya kembali menemukan fokus saya mengajar. Tapi mau sampai kapan? Padahal, selain untuk menghindari pemyebaran covid-19, belajar dari rumah bukan hanya untuk siswa tetapi juga untuk saya sebagai guru.

Selain penyesuaian ritme, saya belajar tentang manajemen kelas. Lebih spesifik lagi, saya belajar tentang kontrol (pengendalian) kelas, Selama ini, kendali pembelajaran antara guru-siswa dilakukan secara langsung. Guru mengontrol siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Apa yang diinginkan oleh guru bisa sak deg sak nyet “dipaksakan” di dalam kelas. Tetapi proses belajar dari rumah ini benar-benar merubah banyak hal. Kontrol tidak lagi sepenuhnya di tangan guru. Alih-alih guru mencoba memegang kendali penuh, siswa justru membangun bloking di ranah pribadinya yang tak ingin diintervensi.

Guru yang masih mendambakan kontrol langsung akan ambruk dan ujung-ujungnya mengambil jalan pintas: mengancam dengan nilai.

Saya belajar cukup banyak dari kegiatan belajar daring ini. Selain kesabaran, yang terpenting untuk ditanam adalah memberi kepercayaan kepada siswa. Ada seribu cara untuk mencurigai performa siswa di kegiatan belajar daring ini. Tapi kecurigaan itu hanya akan membuahkan hati yang sesak. Maka obatnya adalah menanam kepercayaan dalam diri sendiri.

Memang tidak mudah. Upaya membangun kepercayaan ini tentu akan membuahkan hasil, dengan kadar keberhasilan yang bervariasi dari satu kelas dengan kelas lainnya, dari satu siswa dengan siswa lainnya. Rasa optimis saya adalah kalau hubungan ini bisa terjalin baik maka tidak ada lagi kontrol, sebab yang terbangun adalah partnership.

Ramadan baru berjalan beberapa hari. Belajar dari rumah akibat dampak covid-19 masih terus berlangsung. Dan dua peristiwa ini membawa kita pada kesadaran baru, kita menemukan nilai-nilai yang baru, memberi kesempatan kepada kita untuk melihat dari jauh dan menemukan perspektif yang baru pula.

Ribuan siswa akan kehilangan kompetensi pembelajaran akibat pembelajaran dari rumah seperti ini. Kecuali mereka yang memiliki modal untuk cas cis cus sehingga materi-materi itu dilahap secara mandiri. Tetapi ada lebih banyak lagi siswa yang belajar tentang sesuatu yang tidak pernah dirancang oleh sekolah sebelumnya. Meskipun dengan demikian ada pula yang dikorbankan.

Semoga pengorbanan itulah yang membuka jalan baik bagi kita semua di masa mendatang.

Komentar Anda