Dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang.
Historia docet!
Sejarah itu memberi pelajaran kepada kita.
Kalimat di atas adalah jawaban P. Swantoro ketika ditanyai Sindhunata, “Mengapa Pak Swan menulis sejarah untuk jurnalisme Pak Swan? Dan, apa artinya sejarah bagi jurnalisme Pak Swan?“. Buku Masalalu Selalu Aktual adalah kumpulan jurnalisme sejarah P. Swantoro selama lima belas tahun untuk koran Kompas. Sebagian tulisan dalam buku ini terdapat dalam rubrik Fokus Peristiwa Pekan inidan rubrik Fokus.
Saya membeli buku ini bukan karena saya penggila sejarah. Saya tertarik dengan beberapa ulasan di dalamnya. Tapi setelah menyelami buku ini, duh, kita benar-benar tenggelam dalam arus besar peristiwa sejarah. P. Swantoro tidak melulu bicara tentang orang-orang baik, atau orang-orang baik yang tanpa cela. Ia juga menulis orang-orang yang tidak baik supaya kita belajar menjadi orang yang lebih baik. Lagi pula, kalau melihat pada konteks peristiwa terjadi, baik-buruknya seseorang dinilai dari sudut pandang siapa mendukung siapa.
Misalkan tentang Hitler dalam tulisan Hitler dan Misi Khusus Linzyang ditulis pada 11 Oktober 1987. Kita jadi belajar di balik kisah tentang kekejaman Hitler, ternyata ia sangat mencintai karya seni. Ketika menjadi penguasa ia memiliki misi menjadikan kota Linz sebagai ibukota karya seni dunia. Ambisinya ini ‘ledakan’ dari penolakan Akademi Kesenian Austria ketika Hitler melamar untuk menjadi seniman.
Hanya saja, misi ini tidak terwujudkan karena runtuhnya kekuasan Nazi Jerman. Perampokan karya seni dari penjuru Eropa pun tidak seutuhnya untuk kepentingan FuhrermuseumLinz. Banyak pembantunya yang memanfaatkan misi ini untuk kepentingan pribadi. Di antaranya adalah Herman Wilhelm Goering yang memiliki 21.903 karya seni yang diangkut dari Prancis.
Swantoro juga menulis tentang Mohammad Hatta. Di tulisan berjudul Bung Hatta dan Demokrasi Sosial di Indonesiakita dapat belajar dari sosok Hatta bagaimana ia memperjuangkan prinsipnya.
Bung Hatta memperjuangkan terwujudnya prinsip “Demokrasi dan Keadilan Sosial” sepanjang hidupnya. Prinsip itu digali dari tiga sumber inspirasi –menurut Swantoro. Yang pertama, paham Sosialis Barat yang mengandung dasar-dasar kemanusiaan. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai mahluk Tuhan. Ketiga, kolektivitas yang mendasari masyarakat Indonesia asli.
Di buku ini, Swantoro menceritakan sekelumit kisah para tokoh-tokoh besar dari sudut pandangnya. Saya melihat tokoh-tokoh besar diceritakan dengan apik. Bukan saja dari cerita-cerita mainstream. Seperti tentang Gandi dalam tulisannya yang berjudul “Dua Gandhi” yang Terbunuh.
Ia menceritakan Mahatma Gandhi dan Indira Gandhi yang sama-sama tewas dalam pembunuhan. Mahatma Gandhi tewas pada usia 79 tahun, 30 Januari 1948, dan Indira Gandhi tewas menjelang usia 67 tahun, 31 Oktober 1984. Keduanya bukan saudara sedarah. Mereka adalah saudara sebangsa. Kita mungkin alpa siapa Indira Gandhi. Ia adalah putra perdana menteri ketiga India, Jawaharlal Nehru.
Pesan kedamaian Mahatma Gandhi dalam “ahimsa”-nya terus ia genggam. Dua hari sebelum tewas ditembak oleh Nathuram Godse, Gandhi berpesan kepada Rajkumari Amrit Kaur, “Apabila aku harus mati akibat peluru seorang gila, aku harus menjalaninya dengan tersenyum. Tidak boleh ada kemarahan dalam diriku. Tuhanlah yang harus bersemayam di hatiku dan pada bibirku. Dan anda harus berjanji untuk tidak meneteskan air mata setitik pun.”
Tak jauh berbeda dengan Mahatma, sehari sebelum Indira Gandhi terbunuh ia berpidato di negara bagian Orissa, “Kalau aku toh harus mati dalam pengabdian pada bangsaku, aku sksn merasa bangga. Aku merasa pasti, setiap tetes darahku akan merupakan sumbangan bagi perkembangan bangsaku, dan akan membuatnya kuat serta dinamis.”
Kematian memang datang dengan misteri. Konon, mereka yang akan didatangi maut sudah terlebih dahulu didatangi firasat-firasat.
Para guru sejarah di sekolah-sekolah dasar dan menengah perlu mengambil satu atau dua tulisan dari buku ini untuk direfleksi. Peristiwa-peristiwa sejarah perlu dijadikan bahan untuk memondasi nalar para peserta didik bangsa ini. Jangan biarkan generasi bangsa ini dicekoki oleh romantisme borjuis, hedonis, dan kehilangan kepekaan sosial mereka. Zaman dan kebutuhan yang ada di dalamnya boleh menekan hidup tapi kemanusiaan tetap harus dijunjung demi keberlangsungan kehidupan.