Pekan lalu, di kelas saya terjadi diskusi menarik ketika kami membahas tentang integrasi di negeri ini. Saya memberi prolog: seharusnya dengan keragamanan suku dan bahasa, agama dan kepercayaan, Indonesia tidak seperti sekarang ini. Nyatanya kita masih utuh. Kita tahu benteng pemersatunya: karena sejak Sumpah Pemuda kita telah selesai dengan kesukuan dan perbedaan.
Lalu kami membahas berbagai faktor yang mengikat rasa kebersamaan ini. Sejak Sumpah Pemuda menggerakkan persatuan tanpa menghapus keragaman hingga sekarang ini di mana ambisi para politikus membuat muak hari-hari kita.
Salah satu kelompok menyampaikan bahwa toleransi dan saling menghormati memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keutuhan. Ada lagi yang menyampaikan bahwa selisih antar pemeluk agama harus menjadi perhatian karena isu ini sangat sensitif.
Terkait dengan isu yang terakhir itu, salah satu siswa bertanya tentang sikap kita apa bila terjadi pelecehan terhadap agama atau keyakinan kita. Setiap kelompok pun memberi tanggapan hingga saling memberi tanggapan ini menjadikan diskusi semakin seru. Hanya saja, tanggapan yang diberikan mengarah pada ribut-ribut beberapa waktu silam. Kami semua tahu.
Saya tidak ingin pembahasan ini berkelanjutan. Saya menghentikan diskusi. Saya melihat betapa kepentingan politik berhasil men-framing pandangan mereka. Saya memberi penutup diskusi tentang pelecahan atas agama dengan statemen seperti ini:
“Kita harus cerdas melihat siapa yang melakukan penghinaan itu. Kalau orang tersebut bukanlah orang terdidik maka tak seyogyanya kita marah dan tersulut emosi. Kalau pelaku tersebut adalah orang yang terdidik maka pada saat itu kita mengetahui betapa bodohnya dia.”
Ini bukan masalah Ahok, al-Maidah: 51, gerakan 212, dan seterusnya. Tapi saya juga mengincar tindakan pelanggaran pasal 29 atas segala agama atau keyakinan bangsa Indonesia. Syiah, Ahmadiyah, Nasrani, Budha, dan lain sebagainya.
Sehari setelahnya hati saya tersayat. Kemarin baru saja membahas tentang keragaman dan sikap saling menghormati, hari ini dipertontonkan tindakan kontraproduktif sebagai balasan. Dua kejadian yang serupa dari dua tempat yang berbeda. Pertama adalah persekusi terhadap seorang biksu di Tangerang Selatan dan kedua adalah penyerangan terhadap umat Nasrani di Jogjakarta.
Pemerintah pasti hadir di tengah permasalahan itu. Aparat berwenang akan mengambil alih, mencari motif, lalu membuat keputusan. Pers menyebarkan. Dan setelah itu, seakan-akan permasalahan terselesaikan. Tidak. Pemerintah hanya pura-pura hadir. Pemerintah tidak benar-benar menyelesaikan permasalahan tersebut.
Karena ada persoalan yang lebih penting dari sekedar membuat semua seolah-olah kembali normal. Persoalan itu hinggap di antara bangku sekolah, mungkin juga yang lain, yang tak mengerti dengan kejadian-kejadian itu Pemerintah tak pernah hadir di sana. Pemerintah pun takkan pernah hadir di tengah-tengah anak didik saya yang setiap hari melihat hal-hal yang kontra-produktif antara apa yang dipelajari di sekolah dengan realitas di lingkungan mereka. Tak hanya menyoal pelanggaran Undang-Undang pasal 29 ini tetapi juga isu-isu lainnya.
Betul apa yang diucapkan WS. Rendra di acara Impact: Jangan pernah meragukan cinta bangsa ini terhadap Tanah Air Indonesia. Tanyakanlah hal serupa kepada politisi-politisi itu. Merekalah yang rusak dan merusak nilai kebangsaan di negeri ini.
Kepada para peserta didik saya kerap mengingatkan. Dua tahun ini, tahun 2018 dan 2019, akal sehat dan nurani kita akan diuji bahkan mungkin dicerabik oleh kepentingan dangkal para politikus. Jangan biarkan akal sehat digilakan. Maka berpeganglah pada rahmat yang maha Kuasa.
Tentu saja tidak diperoblehkan gebyah uyah begini karena masih banyak politisi yang dengan tulus mengurusi rakyat. Sayangnya, bau harum mereka harus kalah oleh bau busuk di sekitar mereka.
Saya merasa musykil. Kemarahan saya tertuju pada para penguasa, para pemangku kebijakan itu, tanpa ada yang menyuruh. Karena memang sudah tugas mereka mengurusi negeri ini, karena negeri ini bukan sepotong keju. ah!!
Pagi ini, sembari membubuhkan tulisan ini, saya mendengar cerita mbah Nun melalui streaming di youtube. Konteksnya tentang ibadah tapi apa salahnya ditarik ke dalam konteks kenegaraan:
Seorang anak mengeluh kepada orangtuanya dan memutuskan tidak akan ke masjid lagi. Si Ayah bertanya, kenapa. Si anak menjawab karena orang ramai dan berisik di masjid. Si ayah pun mengizinkan anaknya untuk tidak perlu lagi pergi ke masjid tapi dengan syarat. Apa syaratnya, tanya si anak. Isi penuh baskom ini dan kelilingilah masjid itu tiga kali tanpa ada setetes airpun yang boleh tumpah. Si anak pun pergi ke masjid dan mulai mengelilingi masjid dengan membawa baskom yang penuh dengan air.
Tak lama setelah itu, si anak kembali kepada si ayah untuk melapor. Kamu bisa mengelilingi masjid tanpa menumpakan air, tanya si ayah. Si anak mengangguk. Si ayah bertanya, ada berapa orang di masjid? Si anak menggeleng tak tahu. Apa kamu mendengar apa yang mereka bicarakan? Si anak menggeleng tak tahu. Berapa lama kamu mengelilingi masjid? Si anak kembali menggeleng tak tahu.
Barangkali memang seharusnya kita bersikap seperti anak itu: mengelilingi masjid membawa baskom berisi air.
“Berbuat baiklah kepada orangtuamu meskipun ia jahat padamu. Kalau ditanya kenapa? Maka jawablah karena ia adalah bapakku. Berbuat baiklah kepada negerimu meskipun ia tidak memberikan penghargaan padamu. Kalau ditanya kenapa? Maka jawablah karena ini adalah negeriku.”
Saya yakin sekecil apapun kebaikan yang kita buat akan menjadi benih pohon rindang di kemudian hari. Sekecil apapun keburukan yang diperbuat akan menajadi racun yang membunuh pepohonan. Ada meme menarik yang mengutip nasehat KH. Ahmad Mutofa Bisri (Gus Mus) untuk mereka yang gemar menggunakan agama sebagai agenda politiknya:
“Para pemimpin yang menggunakan agama atau aliran-aliran agama untuk kepentingan politik hingga orang-orang bidih terprovokasi dan kehilangan akal sehat, merekalah kelak yang paling bertanggungjawab di hadapan Allah di Yaumul Hisab.”
Wallähu musta'än.