Mudik bukan sekedar urusan pulang kampung untuk mengobati kerinduan. Mudik sudah semacam candu dalam budaya lebaran masyarakat kita. Gak mudik gak asik. Untuk merasakan nikmatnya mudik jutaan orang itu rela mencelupkan dirinya dalam berat medan perjalanan.
Bagi sebagian orang yang tumbuh besarnya di situ-situ saja terus dapat jodoh tetangga dilanjut dengan membuka usaha warung kelontongan di depan rumahnya barangkali merasa heran dan bertanya-tanya apa enaknya mudik. Mereka merasakan mudik hanya dari cerita-cerita tetangganya yang merantau. Mereka merasakan mudik dari tayangan televisi.
Padahal mudik itu indah. Bertemu orangtua dan orang-orang yang dikasihi. Adakalanya merasakan haru saat menziarahi makam orangtua atau ketemu mantan yang anaknya lebih banyak.
Bagi saya, mudik selalu mengisahkan cerita yang berbeda. Di tempat yang sama, narasi dan deskripsi tumbuh berbeda tiap tahunnya. Wajah baru bermunculan dan kenangan lama berguguran. Lalu aku bisa apa?
Aku bisa cerita ….
Embah kakung dan embah uti, dari bapak maupun emak, sudah berpulang semua. Yang sepuh ya tinggal pakde. Eh, masih ada aki dan nini, saudara embah kakung. Sudah sangat tua dan renta. Kalau lihat foto Pram yang sambil merokok itu, aki masih lebih tua lagi. Yang membuatku terkagum adalah daya ingatnya. Bukan melulu tentang kami yang menjenguknya tetapi juga tentang sejarah—dan kebanyakan orang tua senang bercerita—yang pernah menjadi bagian dari dirinya.
Yang sering diceritakan adalah masa-masa trukah di kampung kami. Rumahku berjajaran dengan masjid, peninggalan almarhum embah kakung. Masjid itu dulunya hanyalah surau tempat beliau mengajarkan alif ba ta atau ngumpul-ngimpul riyungan dan tahlilan. Dakwah bil hal beliau bukannya tanpa rintangan dan perlawanan.
Suatu hari, surau itu akan melaksanakan peringatan maulid nabi. Tetangga kami, gerombolan oposisi yang berafiliasi ke partai merah, tidak suka dengan kegiatan keagamaan di masjid. Maka jadilah, mereka nanggap wayang, jathilan, dan kesenian lainnya. Corong miknya dihadapkan ke masjid. Biar apa? Jawab sendiri ya.
Yang paling seru dari cerita aki adalah masa huru-hara tahun enam lima. Para gembong partai merah ini mendatangi rumah-rumah. Memerintahkan supaya setiap rumah dibuatkan lubang galian seukuran badan karena akan ada huru-hara. Tujuannya buat apa, silahkan dicerna sendiri, yang pasti bukan buat tempat sampah. Konon akan digunakan untuk mengubur para pembangkang versi mereka. Di balik itu semua ternyata beredar kode-kode tertentu. Selain lobang galian, mereka menanam ubi racun di halaman sebagai tanda konco dewe.
Pada hari tragedi, embah kakung beserta beberapa rekan lainnya mendahului kabur ke gunung Tanggamus. Sementara itu tak diketahui bagaimana kampung kami menjalani nasibnya. Kalau cerita ini dituturkan kembali, aki selalu menghela nafas panjang. Barangkali masih merasakan pedih getir pada masa itu. Atau melihat kenyataan sekarang ini yang wkwkwk tak melihat betapa beratnya mereka membangun kampung ini.
Lain cerita dari bapak yang pernah mengenyam Sekolah Rakyat di kampung sebelah. Suatu hari, tokoh agama di sana, ingin membangun masjid. Tanah digali untuk pondasi. Membujur melintang menggambarkan cikal bakal masjid yang kelak memiliki tubuh yang tegar. Suatu pagi, usai apel pagi di sekolah, para siswa—termasuk Bapak—diajak olahraga pagi. Setiap anak disuruh mengangkat seember tanah untuk mengurug galian pondasi masjid. Menginjak-injaknya hingga kembali memadat.
Kedengkian itu terus berlanjut. Hingga suatu hari terjadi demo dan arak-arakan dari gerombolan partai merah ini. Dari mulut mereka terdengar teriakan ganyang dan bakar. Yang mereka incar adalah mengganyang sebelas kiai berpengaruh dari lima desa di kecamatan kami.
Itulah kisah yang telah lama berlalu. Cerita tentang kejadian membikin pilu. Meskipun ngeri dan getirnya kadang masih terasa perih di bawah kulit ari. Para mantan gembong partai merah sudah tak lagi menghirup udara. Sudah sunyi senyap di pemakaman umum kampung kami. Para sesepuh pun tinggal hitungan jari dan mulai merindukan untuk menyusul saudara-saudara mereka yang telah lebih dulu ke tanah surgawi.
Kami, para anak-cucunya, tak mewarisi apa-apa. Tidak mewarisi secuilpun kebencian dan cacian. Sejarah itu pernah ada dan kami tak ingin mewarisi kengerian yang sama. Kami tak ingin menceritakan pengalaman yang sama kepada anak-cucu kami. Cukup sampai di sini saja.