MA. Sahal Mahfudh adalah sosok teladan yang sangat dihormati, khususnya di kalangan NU. Ia memiliki kedalaman ilmu ushul fikih dan fikih, terbukti manifestasi beliau dalam buku yang ia tulis, yaitu Thariqatul Husul dalam ushul fikih dan Uyun al-Bashair dalam kaidah-kaidah fikih. Ia adalah sosok kiai yang kritis dan konsen memperhatikan permasalahan-permasalahan di masyarakat dan menggunakan fikih untuk menjawab permasalahan-permasalah itu.

Fikih adalah sebuah langkah metodologis dalam rangka mengimplementasikan syariah dan mencapai tujuan aplikasi syariah (maqasidus syariah). Tujuan aplikasi syariah Islam adalah guna menjaga agama, jiwa, harta, akal, harga diri, dan keturunan. Keenam tujuan tersebut adalah inti dari kehidupan. Melihat kehidupan sosial masyarakat yang dinamis maka dibutuhkan fikih yang implementatif setiap zaman. Ia menolak fikih yang saklek. Baginya, fikih bukanlah konsep dogmatif-normatif, tetapi konsep aktif-progresif.

Kiai Sahal menggagas konsep fikih sosial yang secara ontologis tidak lepas dari interpretasi wahyu dan realitas sosial. Fenomena-fenomena yang terjadi di masayarakat itu dijadikan bahan untuk refleksi dan reaksi. Fikih sosial bukan murni ilmu sosial karena ada simbol fikih, bukan juga murni fikih karena ada simbol sosialnya.

Secara terminologis, fikih sosial Kiai Sahal adalah manifestasi dari aktualisasi dan kontekstualisasi. Aktualisasi adalah menghidupkan kembali doktrin dan nilai intrinsik fikih dalam konteks sosial yang pluralistik dengan pendekatan sosial humaniora. Kontekstualisasi adalah menjadikan doktrin praktis yang sesuai dengan konteks lokal yang heterogen.

Kiai Sahal mahfudh membangun fikih sosial di atas lima ciri pokok yang transformatif, yaitu:

  1. Kontekstualisasi doktrin fikih,
  2. Beralih dari mazhab qauli (tekstual) menuju manhaji (metodologis),
  3. Verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah dan far’u (instrumental) yang bisa berubah,
  4. Menghadirkan fikih sebagai etika sosial, dan
  5. Mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam maslaah sosial budaya.

 

Mengembangkan Fikih Sosial Kiai Sahal

Kontekstualisasi Doktrin Fikih

Fikih—disebut juga furu’—adalah dimensi cabang praktis agama. Ia bersumber dari kaedah-kaedah ushul untuk mempermudah penetapan hukum atas fenomena yang terjadi di masyarakat. Mengingat penetapan fikih dibangun berdasarkan fenomena-fenomena tersebut maka sangat wajar kalau teks-teks fikih dibaca kembali secara kontekstual. Metode ini (kontekstualisasi fikih) adalah usaha memaknai fikih sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang dihadapi karena secara kontekstual tentu berbeda apa yang terjadi pada saat itu dengan apa yang dihadapi saat ini.

Untuk dapat melakukan analisa berdasarkan kontekstual dibutuhkan kemampuan dalam membaca perkembangan sosial. Dibutuhkan pula penguasaan disiplin ilmu yang mendukung hal tersebut. Mengarah pada kemampuan analitis sosial Kiai Sahal mendorong para santri untuk meningkatkan dan aktif membaca. Tidak berhenti pada bacaan kitab-kitab kuning, tetapi juga dari berbagai disiplin ilmu. Karena semakin luas bacaan seseorang maka semakin menjadikannya toleran, moderat, inklusif, dan demokratis.

Kontekstualisasi teks-teks fikih dapat dilihat dari pemikirannya ketika membicarakan tentang standar nafkah keluarga. Dalam kitab fikih disebutkan bahwa standar nafkah bagi orang kaya adalah dua mud ( 12 ons), bagi orang sedang adalah satu mud setengah (9 ons), dan bagi orang miskin adalah satu mud (6 ons). Menurut Kiai Sahal konsep fikih ini sangat modern dan maslahah dibanding dengan keputusan WHO.

Fikih klasik telah membagi standar nafkah menjadi tiga, yaitu kategori orang kaya, menengah, dan miskin. Ketentuan fikih ini dapat ditilik melalui kaidah hukum taghayyurul ahkam bitaghayyuril amkinah wal azminah wal ahwal fi majalil ádati wal mu’ammalat duna al-íbadati. Perubahan hukum dengan perubahan tempat, waktu, dan kondisi di medan kebiasaan dan muammalah, tidak di bidang ibadah. Artinya, standar tersebut masih sangat mungkin berubah berdasarkan perkembangan geografis, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan yang terjadi di masyarakat.

 

Beralih dari Mazhab Qauli ke Manhaji

Mazhab qauli adalah mengikuti produk pemikiran para ulama sedangkan mazhab manhaji mengikuti metode para ulama dalam menetapkan hukum. Mazhab qauli mengikuti fikih sedangkan mazhab manhaji mengikuti ushul fikih. Berhenti pada mazhab qauli akan berimplikasi pada fikih yang stagnan sementara permasalahan sosial di masyarakat terus berkembang.

Mengembangkan kaedah-kaedah fikih dan usul fikih akan sangat relevan dengan perkembangan masyarakat. Ia dapat menjawab permasalahan kontemporer dalam dunia pendidikan, politik, sosial, ekonomi, kesehatan, dan lainnya. Seperti kaedah al-dafú aula min al-rafí (mencegah lebih utama daripada mengobati). Dalam kesehatan, imunisasi menjadi lebih baik untuk mencegah penyakit yang mungkin akan menyerang. Pada jamaah haji, suntik miningitis lebih baik untuk kekebalan saat melaksanakan manasik.

Contoh yang lain adalah kaedah mutaáddi aula min al-qashir, sesuatu yang manfaatnya untuk masyarakat luas lebih utama dari sesuatu yang manfaatnya terbatas. Kaedah ini dapat diaplikasikan dalam berbagai kebijakan oleh seorang pemimpin, seperti pembangunan waduk untuk manfaat kemasyarakatan dan perekonomian; membangun taman kota sebagai tempat rehat dan recreation bagi masyarakat sehingga memberikan penyegaran secara rohani.

Kiai Sahal menggunakan mashlahah untuk mendorong transformasi qauli ke manhaji. Maqashidus syariah harus terus dijaga sementara yang terjadi di masyakarat sangat dinamis. Pemikiran mashlahah Kiai Sahal sangat terasa dalam rangka mencapai maqashidus syariah itu. Di antaranya adalah perihal zakat produktif, yakni bagaimana zakat mampu meningkatkan taraf hidup para mustahiq-nya menjadi muzakki. Maka, ia menggagas untuk menjadikan zakat sebagai modal untuk membiayai usaha-usaha produktif. Alasan kiai Sahal menggunakan zakat sebagai modal usaha produktif adalah: pertama, kebanyakan mustahiq sudah mampu memenuhi kebutuhan dasar keseharian dan kedua, zakat lebih banyak digunakan oleh mustahiq-nya untuk hal-hal yang konsumtif.

Bersambung…