Goenawan Muhammad menggambarkan “Mekah” dalam Catatan Pinggir-nya tahun 2012 yang lalu. Masjidil Haram yang megah dengan tiga belas menaranya perlahan surut. Bangunan supermarket dan hotel menggerus kemegahannya. Apalagi setelah Abraj al Bait yang seperti Big Beng yang gembrot berdiri megah. Ia seperti mengangkangi Masjid Haram itu. Kalau Hamka menulis “Di Bawah Lindungan Kaabah” saat ini akankah ia memberi judul yang sama?

Semakin kemari pembangunan di lingkungan Masjid Haram itu semakin merajalela. Barangkali, setelah keberanian pemerintah Saudi menggusur rumah sayyidah Khadijah demi pembangunan toilet umum dan padasan wudlu maka keberanian-keberanian yang lain kian muncul. Setelah lahan tidak ada lagi yang kosong, kini gunung-gunung batu di sekitanya digerus dijadikan penginapan dan supermarket.

Mekah pada jahiliyyah dulu, dan entah sudah berapa ribu tahun, berakar pada kapitalisme. Di sana riba pernah mendarah daging. Kemanusiaan berjalan lambat karena dibendung hasrat atas materi. Hingga ketika Rasulullah yang mulia membebaskan Mekah dari nilai-nilai materialisme itu. Ia membawakan peradaban baru. Pesannya hanya satu kala itu: Jihad kecil telah selesai. Kalian memasuki jihad baru, yaitu melawan hawa nafsu.

Melihat Mekah saat ini, barangkali, seperti melihat remah-remah benih dari kapitalisme jahiliyyah dulu. Tetapi kalau mengatakan bahwa Mekah telah berakhir tentu berlebihan. Seperti yang dikatakan Irfan al Alawi direktur pelaksana Islamic Haritage Research Foundation kala itu, “”It is end of Mekkah.””

* * *

Para peziarah Masjid Haram tidak bisa dijadikan tolok ukur kesempurnaan ibadah. Tidak pula bisa dijadikan pegangan atau pedoman atas laku ibadah.

Sore itu, di pelataran hotel Hilton sambil minum teh, seorang teman menanyakan tentang cara sujud orang India yang ia temui. “Sujudnya kok begitu? Apakah salatnya sah?” Lalu ia melihat sesuatu yang janggal lagi dan berbeda berdasarkan tataran fikih yang pernah ia pelajari. Ia pun menanyakan sah tidaknya ibadah orang yang baru ia lihat.

Saya mengangkat bahu karena tak tahu harus menjawab apa. Alasan utamanya adalah karena saya tidak memahami perbandingan mazhab. Ketika saya bilang laku ibadahnya tidak tepat, barangkali menurut mazhab yang lain sudah tepat.

BACA JUGA: Haji Kecil [Bag. 01]

Seorang kawan yang telah lama bermukim di Tanah Suci menjawab, “”Tidak semua yang datang ke sini adalah orang yang memahami tata cara ibadah. Ada yang datang kemari karena kerinduan yang mendalam kepada Allah. Ketika ia memiliki cukup rejeki, ia datang berziarah.””

Setelah perjumpaan itu, saya mulai memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Ya, saya menemukan berbagai tata cara ibadah yang tak saya temui sebelumnya. Bahkan ketika dulu pernah mampir di pondok pesantren. Dari cara takbir, sujud, sampai cara berwudlu.

* * *

Masjid Haram adalah tempat menampung segala kerinduan. Seperti seorang kekasih bertemu dengan pujaan hatinya setelah sekian lama berpisah. Mereka tak peduli lagi pada sandang yang dikenakan. Semua cinta dan kerinduan tumpah ruah dalam pelukan.

Saya menemukan ribuan tetas air mata yang bertawaf, yang meringkuh haru di hijr ismail, yang mematung sujud di belakang Maqom Ibrahim. Tak penting lagi raga dan harta, tak peduli lagi terik mentari atau dingin angin. Perjumpaan telah menghapus segala derita dan luka.

Maka kita bisa melihat bagaimana ada orang-orang yang tak peduli lagi dengan hotel-hotel mewah yang mereka sewa ratusan bahkan ribuan dolar. Tak peduli pada pernak pernik yang dijajakan di pinggir jalan atau toko-toko di basement. Tak peduli pada lezat makanan yang dihidangkan.

Semua itu adalah penyaring bagi mereka yang tulus datang Kekasihnya. Adalah penguji bagi nafsu yang katanya datang untuk merunduk hamba. Adalah penguji bagi kaki-kaki yang telah disiapkan untuk tawaf dan sa’i.

Mekah akan terus dikepung oleh modernitas dan modal. Tetapi hati nan suci para peziarah membersihkannya.


Sumber Gambar: www.worldfortravel.com/2015/11/18/masjid-al-haram-largest-mosque-of-the-world