Saat MU kesulitan menerobos benteng pertahanan West Brom saya masih belum menenmukan ide apapun untuk menulis apapun. Padahal Tanom memanggil-manggil dari dalam sana.
Orang-orang, berdasarkan pengakuan Tanom, tahunya kalau saya adalah teman karibnya. Dia sering bercerita tentang banyak hal. Saya kadang heran sendiri nyatanya ada orang yang bisa memutus urat nadinya sendiri supaya bisa jemplak sak karepe dewe. Nyata memang ada. Saya dengarkan atau tidak Tanom tetap senang bercerita banyak hal kepada saya.
Barangkali karena itulah orang-orang banyak percaya pengakuan Tanom. Yang tidak diceritakan kepada oranglain, Tanom akan ceritakan kepada saya.
Setelah 27 menit akhirnya Lukaku membobol gawang Brom lewat sundulannya dan setelah delapan menit berselang Lingard menambahkan angka.
Lalu Tanom mulai bercerita tentang tetangga barunya. Dia tidak menceritakan siapa nama tetangga barunya itu. Yang ia ceritakan hanya tentang tetangganya.
Ya, tetangganya adalah seorang guru. Beberapa bulan lagi pensiun. Anaknya juga seorang guru. Beberapa bulan yang lalu baru saja diangkat.
Yang menarik dari keluarga ini, menurut cerita Tanom, adalah keuletan si guru tua untuk tetap menggunakan mesin ketik.
“Serius sampeyan, dia masih pake mesin ketik?”
“Iya.” Jawab Tanom, “Saya tidak pernah melihatnya langsung. Hanya saja setiap malam saya dengan cetak cetok mesin ketik.”
Saya mengernyitkan dahi.
“Saya gak bodoh-bodoh amat ya. Tahu bedanya cetak-cetok bunyi kayu terbakar dengan cetak cetok mesin ketik.”
“Mosok yang kayak gitu spesial. Bukannya memang sekarang masa peralihan guru-guru jaman old ke jaman now? Guru yang gak mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran akan tergerus oleh mereka yang gesit. Jadi wajar kalau sisa-sisa masa lalu masih terniang di depan mata.”
“Nah itulah istimewanya. Dia guru sisa-sisa masa lalu yang keren.” Tanom langsung semangat, “Kebetulan saya pernah ngopi di depan rumah. Saya lihat dia mau buang sampah. Melihat saya sedang ngopi pak Guru Tua menyapa. Lalu kami ngobrol.”
Singkatnya, Tanom dan pak guru ngobrol tentang ini itu. Ngepoin perpindahannya. Menanyakan tentang anaknya yang juga guru dan sudah diangkat. Menanyai tentang anaknya yang lain. Menanyai di mana isterinya. Dan menanyai kesannya menjelang pensiun.
“Nah, pas saya tanya masalah kesannya menjelang pensiun, dia menghela nafas. Wajahnya terlihat lebih sedih dibanding saat saya tanya tentang isterinya yang telah mendahuluinya menemui yang Maha Kuasa.
Begini, Mas. Pergeseran tata sekolah kita ini lucu. Maksudku lucu ini semacam musykil. Lihat saja, guru-guru yang dibesarkan pada masa orde baru banyak mengalami kesulitan, bergeser dari stigma kuno ke modern, dari manual ke digital. Pelatihan yang diberikan kepada mereka adalah pelatihan kurikulum, bukan pelatihan ketrampilan mengajar. Ada pelatihan semacam itu tapi sedikit dan biayanya mahal dan keluar dari pelatihan kembali ke bentuk semula. Gaya dan metode mengajar yang dianggap kuno itu tumbuh dari kebiasaan dan ketelatenan kok mau diubah dalam waktu sehari dua hari melalui workshop. Susah, Mas. Seharusnya melalui coaching. Yang membuat mereka kuat dan tegar adalah pengalaman mengajar.
Sementara itu, guru-guru yang baru tumbuh ini pintarnya bukan main. Pintar menguasai teori pembelajaran, pintar menguasai perangkat pembelajaran, pintar menguasai teknologi infomasi, tapi masih miskin pengalaman. Mereka masih rapuh. Keduanya harus disatukan.
Begitu, Mas.”
Tanom diam, mananya yang lucu dan musykil?
“Sekolah, guru dan murid sama-sama menghadapi godaan dan tantangan masing-masing. Sekolah dengan kurikulum baru, guru dengan sertifikasi, murid dengan godaan teknologi.
Sekolah terus menjajaki pemberlakuan kurikulum baru. Yang terbaru adalah berbasis penilaian otentik. Setiap siswa memiliki track recordnya masing-masing. Tidak absah lagi dibanding-bandingkan. Untuk memenuhi itu, sekolah-sekolah mengadakan atau mengikutkan guru dalam pelatihan supaya guru terampil. Guru yang sedang dituntut masuk dalam model pembelajaran yang benar-benar baru digoda dengan sertifikasi dan segala pengakuan dari pemerintah yang ujung-ujungnya adalah tunjangan/insentif. Beberapa guru bisa konsen tetap mengajar dengan baik dan optimal tapi juga tidak sedikit yang justru konsen pada yang beginian. Sedangkan anak didik mereka yang di sekolah dituntun mempelajari nilai-nilai tak kunjung menunjukkan perubahan signifikan. Pasalnya, keluar dari gerbang sekolah lingkungan dan—setidaknya—gadget langsung menarik perhatian mereka.”
“Lho, gadget pak?”
“Iya. Selain menggangu konsentrasi belajar anak, informasi yang tersebar bebas menarik anak ke dalam pembelajaran yang tak terarah. Saya sering menerima tugas individu atau kelompok yang ternyata hasil copy/paste dari blog atau portal. Sedihnya, mereka copy/paste plek tanpa sebut sumber.”
“Hanya satu dua anak kan pak?”
“Enggak. Banyak yang begitu kok. Banyak guru yang mengakui ini tapi semacam tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah. Hanya menjadi bahan pembicaraan saja di pertemuan-pertemuan.
“Rasanya belum pingin pensiun, Mas. Masih pingin ngajari anak-anak hal yang sepele tapi bermanfaat.”
“Ngetik?”
“Ngetik itu kerjaan saya ma. Hobi. Yang saya ajarkan ke anak-anak itu mengetik ulang.”
“Pake mesin ketik?”
“Enggak lah. Pake komputer. Mengetik ulang akan membuat mereka membaca. Proses membacanya setidaknya dua kali. Saat mengetik dan mengedit.”
“Untung apa pak?”
“Saya jadi tahu apa yang mereka baca.”
Menit ke-77 West Brom memecah kebuntuan melalui Garetg Barry. Duh, semoga gak kendor dan gak kebobolan lagi.
Tanom ini suka berdiskusi ini itu. Kalau dia tidak tahu dia akan tanya dan terus tanya. Kalau dia tidak setuju ya akan bilang tidak setuju. Dia pernah bilang kalau ide dan fikiran harus dibenturkan melalui pertanyaan dan sanggahan supaya kita yakin nilai apa yang kita pegang. Begitu katanya.
Saya pingin tahu bagaimana ujung pembicaraan Tanom dengan pak Guru Tua yang akan pensiun itu. Tanom adalah Tanom. Cerita semaunya sendiri. Dia tiba-tiba berhenti bersamaan dengan pluit panjang akhir pertandingan. Duh!
Leave A Comment