Saat itu menjelang siang. Saya baru sampai di Main Office. Yang dulunya adalah rumah lalu diubah menjadi kantor dan kini berubah lagi menjadi rumah. Celana saya terkoyak. Begitu juga di bagian lengan.
Hari itu saya datang untuk interview. Saya tidak ingat pastinya, hari Sabtu atau Minggu. Beberapa orang sudah hadir di sana. Saya yakin mereka pesaing. Mata mereka memperhatikan kaki saya. Juga lengan kanan saya. Kotor dan sobek.
Itu saya dapatkan di tikungan dekat kuburan tak jauh dari rumah. Di perbatasan kampungku. Entah karena licin atau mungkin karena terlalu bersemangat untuk interview lantas saya menancap gas. Ban depan tergelincir. Saya pun terpelanting hingga celana dan lengan baju sobek.
Ada yang tidak beres dengan stang motor. Rasanya tidak mungkin melanjutkan perjalan dari Tanggamus ke Bandar Lampung dengan Hondra Prima ini. Tak mungkin juga saya kembali. Lantas saya menghubungi seorang teman yang seorang kepala sekolah. Meminjam motornya.
Nyatanya tidak semulus itu. Belum sampai Bandar Lampung ban motor meletus. Ya… meletus. Saya dengar letusannya cukup kencang. Rupanya tambalan tublessnya kembali jebol. Semacam luka lama terkuak kembali. Saya mendorong motor cukup jauh. Cukup berkeringat. Capek dan juga gelisah.
Makanya ketika saya sampai di sini, di ruang tunggu bersama para kompetitor itu, banyak mata menatap. Barangkali tidak sedang betul-betul melihat luka di lutut dan lengan saya. Tapi melihat penampilan saya yang sudah tidak karuan. Atau bau badan yang menyeruak dari punggung badan.
Akhirnya nama saya dipanggil. Saya mengangguk. Di arahkan untuk masuk dan menaiki tangga sampai ke ruang interview. Belakangan saya tahu kalau itu adalah ruang Wakil Kepala Sekolah. Ada tiga orang di dalam. Paling kanan adalah Pak Irawan Darmajati, wakasek bidang kesiswaan. Di tengah ada Pak Viedy Dimas Aditya, wakasek bidang kurikulum. Dan di ujung kiri adalah Pak Gunadi Rusydi, Ketua Yayasan. Atau yang duduk di tengah adalah Pak Gunadi ya?
Setelah basa-basi, juga tentang baret di lengan dan kaki, kami memulai wawancara. Atau sebenarnya wawancara sudah dimulai sejak nama saya dipanggil. Dari jauh mereka memperhatikan gestur, attitude, dan kriteria lainnya yang tak saya mengerti. Saya ditanya-tanya dalam bahasa Inggris. Saya menjawabnya dalam bahasa Inggris. Alhamdulillah, semua berjalan lancar.
Begitu saja. Ya memang begitu saja. Dan saya kembali pulang.
Tapi saya ingat satu hal. Di dalam interview itu saya ditanya bagaimana kalau diterima di lebih cepat, bukan di awal tahun pelajaran.
Tentu saja saya senang tetapi saat itu saya masih punya tanggung jawab lainnya. Saya masih aktif mengajar di sekolah yang membesarkan saya semasa tsanawiyah dulu. Terlebih, kami akan melaksanakan Ujian Nasional dan saya menjadi bagian dari panitia. Rasanya tak mungkin. Maka paling cepat, kalau benar-benar diterima, saya bisa mengajukan pengunduran diri setelah ujian.
Wawancara selesai. Benar-benar selesai. Anda-andai tadi entah benar adanya atau untuk mengukur loyalitas saya terhadap institusi. Saya dipersilahkan pulang. Dan saya pun pulang.
Kabar justru datang dari teman. Adik kelas yang sama-sama sampai pada proses interview. Dia dapat panggilan tapi saya tidak. Kami bersama keheranan. Lantas saya menghubungi bagian admin menanyakan kejelasan nasib saya. Diterima atau tidak. Saya diminta menunggu sekitar dua jam.
Dua jam terasa sangat lama. Lama sekali. Saya sampaikan kepada ibu bahwa mungkin saya diterima tapi mungkin juga tidak. Ibu tidak menanggapi banyak. Seperti biasanya hanya memberikan nasehat kecil supaya pasrah. Saya menurut. Mengiyakan. Lalu menghela nafas lega yang panjang.
Telepon genggam berbunyi. Perempuan di seberang sana menyapa. Memperkenalkan diri lalu memastikan bahwa saya benar-benar orang yang dituju. Dag dig dug. Ia manyampaikan penjelasan sekitar satu atau dua menit. Saya mengangguk. Lalu bertanya beberapa hal. Saya menjawab. Dan terakhir sampai pada kesimpulan. Saya diminta bersiap-siap untuk bergabung dengan Ar Raihan. Awal bulan April. Hingga sekarang.
Leave A Comment