Sekolah dan pesantren adalah sekeping mata uang dalam pendidikan di Indonesia. Sekilas ia tampak bersebrangan tetapi ia menyatu tidak terpisahkan. Baik sekolah maupun pesantren, keduanya memiliki tanggungjawab yang sama besar dalam mendidik bangsa Indonesia menjadi insan kamil. Tetapi, baik sekolah maupun pesantren, keduanya memiliki metodologi pembelajaran yang berbeda sehingga kalau keduanya dipaksakan untuk disatukan maka hasilnya justru tidak maksimal.

Sekolah dan pesantren bisa sangat bersinergi dalam menjalankan roda pembelajaran. Di sekolah belajar ilmu-ilmu duniawi dan di pesantren belajar ilmu-ilmu ukhrowi. Hingga pada akhirnya sampai pada titik bahwa tidak ada istrilah ilmu dunia dan akhirat karena ilmu itu memancar dari nur Allah.

Sekolah sebagai wadah pendidikan generasi bangsa mendapatkan tantangan terbesarnya bersamaan dengan beberapa kali perubahan kurikulum nasional. Tantangan terbesarnya bukan tentang keilmuan yang diajarkan di sekolah-sekolah itu, bukan tentang standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). Nyatanya, mudah sekali mengkader peserta didik untuk menjuarai olimpiade sains tingkat nasioinal bahkan tingkat internasional. Aspek kognitif peserta didik bukan permasalahan utama proses pembelajaran di negeri ini.

Saat ini sekolah-sekolah di negeri dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka dinilai belum berhasil mendidik aspek afektif peserta didik. Indikasinya ada di depan mata kita sendiri. Berita kriminal, pelecehan seksual, perdagangan manusia, narkoba, dan isu-isu lainnya tidak selalu melibatkan anak usia remaja. Ini adalah buah pendidikan kita yang lemah dalam menyentuh aspek afektif peserta didik.

Oleh karena itu kurikulum semestinya berkembang seiring dengan perkembangan lingkungan sosial masyarakatnya. Perkembangan kurikulum dibutuhkan untuk menyesuaikan diri memenuhi kebutuhan masyarakat. Akan tetapi melakukan perubahan kurikulum tanpa mengetahui persis kebutuhan masyarakat—umumnya menggunakan metode need assessment—justru akan merusakan pendidikan itu sendiri.

Di sisi lain, di luar dunia pendidikan, masyarakat dihadapkan pada percepatan laju kehidupan. Semua berjalan serba cepat. Barang yang mulanya diproduksi sebagai teknologi justru beralih menjadi penghambat dan perusak. Hasrat dan kebutuhan membaur hingga tak bisa lagi dipisahkan. Para orangtua yang menyadari hal tersebut mulai beralih pada pentingnya pendidikan agama. Maka para orangtua itu menimbang-nimbang apakah akan memilih madrasah (lembaga pendidikan di bawah payung Kemenag), sekolah Islam (lembaga pendidikan di bawah payung Kemendikbud yang menambah porsi pembelajaran/kegiatan keislaman), atau pondok pesantren.

Baca Juga: Saat Saya, pada Akhirnya, Menjadi Guru Ngaji

Mondok-Sekolah atau Sekolah-Mondok
Perubahan di masyarakat sangat cepat. Perubahan ini terjadi pada nilai-nilai yang selama ini berlaku di masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi sosial ekonomi. Meskipun begitu, kita masih dengan sangat mudah menemui pondok pesantren yang tetap memegang gaya tradisionalismenya. Metodologi pembelajaran pondok pesantren memang kurang populer bagi kaum urban. Selain karena proses/jenjang pembelajarannya yang memakan waktu lama, pondok pesantren dinilai kurang mampu memberikan jaminan kepada santri untuk bersaing di masyarakat setelah tamat masa pendidikan.

Sebagaimana khalayak ketahui bahwa pondok-pondok ini mengkaji karya ulama-ulama salaf dan mendalaminya dengan tekun, mulai dari disiplin ilmu fikih, usul fiqih, aqidah, gramatika, tafsir, hingga tasawwuf. Metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu itu pun khas dan unik serta membutuhkan ketekunan yang lama sehingga berdampak pada lama masa belajar.

Akan tetapi masyarakat ternyata lebih tertarik pada kebutuhan pragmatis. Sekolah yang tinggi, mendapatkan ijazah, melamar pekerjaan atau pegawai. Inilah yang selanjutnya menjadi makna dari kata “sukses”. Kedalaman ilmu agama yang ditimba dipondok pesantren menjadi barang cadangan yang akan ditimba belakangan. Sehingga wajar kita menemui anak-anak yang sangat pintar tetapi tidak mampu membaca surat mu’äwidzain dengan baik dan benar.

Satu dasawarsa terakhir ini terasa sekali degradasi moral remaja negeri ini. Banyak kekerasan, pencurian, pemerkosaan, narkoba, dan tindakan kriminal lainnya yang melibatkan remaja-remaja kita. Ini adalah buah dari pendidikan negeri ini yang kurang tepat—meskipun degradasi ini bukan sepenuhnya ditimpakan kepada kesemrawutan pendidikan.

Maka, banyak pondok pesantren yang merubah metodologinya. Ketradisionalannya dikikis tetapi ruhnya tetap dipertahankan. Para santrinya tidak lagi dibatasi untuk mempelajari kitab-kitab turots tetapi juga mendapat kesempatan untuk duduk dibangku sekolah. Para santrinya tidak hanya mendapatkan ijazah dari pesantren tetapi juga mendapatkan pengakuan dari Kemenag atau Kemendiknas.

Sebagian pondok pesantren itu mengambil langkah inovasi yang luar biasa, yakni dengan mendirikan lembaga pendidikan. Lembaga inilah yang akan menjawab kebutuhan masyarakat tentang perguruan tinggi, lapangan pekerjaan, atau kecakapan-kecapakan hidup yang selama ini jarang tergarap oleh pondok pesantren.

Maka tidak heran kalau kita temui para putra kiai yang tidak hanya mondok tetapi juga menempuh pendidikan hingga post-graduated dan doktoral. Sehingga dalam dirinya terjadi pertemuan antara tradisionalisme dan modernisme. Tradisionalisme dipelihara sebaik mungkin sebagai pondasi dan modernisme digeluti sebagai langkah inovasi. Inilah bentuk dari adidum dari al-muhäfadzotu ála al-qödimi al-shölih wa al-akhdu bi al-jadïdi al-ashlah (mempertahankan hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik).

Akan tetapi, tidak semua pondok pesantren siap bertransformasi ke arah yang disebutkan di atas. Salah satu faktornya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola sebuah lembaga pendidikan.
Memahami hal tersebut, pondok pesantren dan sekolah yang terletak di lingkungan pesantren melakukan kerjasama, bergerak beriringan dalam rangka melaksanakan pembelajaran. Agenda kegiatan yang dirancang oleh sekolah menjadi bagian penting dari agenda pondok pesantren, begitu pula sebaliknya.

Saling mendukung kegiatan yang diselenggaran oleh kedua lembaga tersebut dapat terjadi di berbagai momentum. Sebagaimana kita ketahui, masa pembelajaran di sekolah dan pesantren tidak sama. Begitu pula dengan waktu belajar, awal tahun pelajaran, masa libur, sering tidak sinkron.

Dari berbagai inovasi/pengembangan metode pembelajaran di pondok pesantren kita dapat menarik beberapa fenoma penting yang dihadapi.

Baca Juga: Masjid Harus Lebih Bagus dari Rumah Kita

Pertama, masa belajar menjadi lebih singkat karena kebanyakan orangtua memasukkan putra/putrinya ke pesantren setelah lulus SD. Beberapa santri yang memilih sekolah dari pada melanjutkan studinya di pesantren hanya mengalami setitik saja pembelajaran di pesantren. Hal ini akan diperparah lagi oleh kenyataan bahwa calon santri tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang baik, terutama baca Alquran dan fikih. Maka bisa ditebak hasil pembelajarannya di pesantren: santri mengerti fikih tapi belum terampil membaca kitab fikih, santri mengerti bacaan Alquran tetapi belum terampil membaca kitab tafsir.

Kalau yang menjadi quality assurance atau jaminan kelulusan santri adalah mampu memahami kitab-kitab ulama salaf, maka belajar tiga tahun belum berarti apa-apa. Barangkali inilah yang dihindari oleh beberapa pondok pesantren. Mereka tetap mempertahankan metodologi tradisionalnya demi mempertahankan kualitas dan hasil lulusannya. Disadarinya betul nasihat Syeikh Burhanuddin Al-Zarnuji dalam Ta’lim Mutaállim:

ألالا تنال العلم إلا بستة             سأنبيك مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصتبار وبلغة         وإرشاد أستاذ وطول الزمان

Tentu saja budi pakerti kita dapat memaknai apa yang dimaksud dengan waktu yang panjang (thulu al-zaman) itu. Makna thulu al-zaman itu bukan berarti bermalas-malasan sehingga terhambat dan panjang masa pembelajarannya. Thulu al-zaman lebih mengarah pada makna waktu yang dibutuhkan untuk belajar, mutholaáh, dan ketekunan.
Menilik permasahalan tersebut, terdapat pondok pesantren yang dengan tegas sejak awal rekrutmen santri bahwa lama belajar yang harus ditempuh oleh santri tersebut adalah enam tahun. Seandainya masuk pondok di masa SMP/MTs maka harus menuntaskan sampai SMA/MA.

Kedua, sekolah nyambi mondok atau mondok nyambi sekolah. Harus diakui bahwa terjadi perubahan tren di masyarakat. Pragmatisme hampir menyusup ke dalam kepala setiap orang. Perguruan tinggi, peluang lapangan pekerjaan, ijazah, kecakapan hidup, adalah buah pembelajaran yang dikejar-kejar oleh para walimurid/walisantri. Semakin “harum” buah yang dijanjikan dalam waktu belajar tiga tahun makin berbondong-bondong pula didatangi.

Beberapa sekolah menjadi pilihan favorit orangtua untuk mensekolahkan putra/putrinya. Hal ini didasarkan pada adanya jaminan/peluang yang lebih besar bahwa ketika lulus maka akan lebih mudah masuk ke perguruan tinggi favorit. Beberapa jurusan pun demikian, dikejar-kejar dan diburu dengan berbagai cara supaya dapat masuk karena peluang pekerjaan yang akan diraih setelah lulus kuliah nanti. Belum lagi fenomena di perguruan tinggi yang memiliki ikatan dinas dengan pemerintah, yang dijamin menjadi pegawai negeri setelah tuntas masa studi.

Oleh karena itu, beberapa pondok pesantren bergeming. Pondok pesantren tidak lagi melulu belajar tentang membaca kitab-kitab turots, khitobah, marhaban, tahlilan, lalaran, sorogan, atau menabuh marawis. Beberapa pondok pesantren justru mengadakan pelatihan olah digital, broadcasting, jurnalistik, dan ketrampilan lainnya yang populer pada saat ini.

Inovasi-inovasi serupa menjadi keharusan untuk diambil supaya para santri yang memiliki mindset “sekolah nyambi mondok” berubah menjadi “mondok nyambi sekolah”.

Ketiga, sentuhan dunia luar. Pada akhirnya, teknologi meresap hingga ke pondok pesantren. Santri tidak lagi hanya ngeh tentang nadzom alfiah atau lagu bayati. Para santri akhirnya mengakrabi twitter, facebook, path, dan lainnya. Modernitas bukan lagi dimiliki oleh orang-orang kaya dan perkotaan. Sehingga tidak mengherankan kalau santri yang terkenal kalem justru menjadi atraktif ketika kembali pulang kampung.

Teknologi informasi tidak bisa dibendung seperti menghentikan rombongan konvoi. Ia merayap begitu cepat tapi senyap. Ia bisa tiba-tiba ada di dapur umum, atau kamar mandi. Jendela ini harus dibuka untuk memperluas cakrawala. Karena yang dikenal hanya media sosial yang disebut di atas, bukan berarti teknologi informasi sesempit itu.

Kita dapat membayangkan adanya komputer di sudut komplek asrama santri yang menyediakan berbagai kitab dari berbagai generasi: fikih dari berbagai mazhab, tafsir dari berbagai versi, gramatika yang tidak hanya tentang bashrah dan kuffah. Pondok-pondok pesantren memiliki akun media sosial, website, atau streaming yang menampilkan kehidupan pondok pesantren. Bahtsu masail bukan lagi menjadi fatwa eksklusif bagi para santrinya saja tetapi menjadi nasehat/irsyad bagi orang lain. Pengajian tidak lagi miliki santri semata tetapi juga milik semua umat Islam. Hal ini dapat terjadi kalau jendela teknologi informasi ini dilirik dan dibuka.