By |Published On: November 24th, 2016|0 Comments on Cerpen Pilihan Kompas: Ikan Kaleng|Views: 518|

/1/

Sam tiga hari di Jayapura; dia guru ukatan dinas dari Jawa. Dan, tidak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, meyadarkannya diam-diam.  Ia tersenyum mengingat ini.

Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh lega, dan rambut bergelung seperti ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing.”

Sam memahami penggal dua penggal. Dia. Seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu ketrampilan dasar, matematika, bahasa, olah raga dan beberapa kerajinan …”

ikan_kaleng-sudi_purwono

Ilustrasi Cerpen: Ikan Kaleng

Ah, omong ka sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”

Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tiak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.

Pendaftar pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendatar samping, kosong, Tati belum datang. Cuma da Markus, Waenuri, dan Titro-teman sekelasnya, yang sedang bertugas masig-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatatan kebutuhan anggaran, dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengaadukan material bangunan itu.

Dan syukurlah, meskipun dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasan, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratus rengkuh darung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut itu. Kira-kira begitu kata orang-orang yang juga ada berasal dari sana.

“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata si penjelas itu sambil berbisik-bisik, takut ada yang melaporkan omongannya.

/2/

Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa mendaftar jadi angkatan baru, sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih, dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semaking sering.

Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka tampak mendatangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini, Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul, mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.

“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”

“he-eh…” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi bersama-sama itu, dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.

“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa Ade bisa marah.”

Mereka kemudian berlari menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah pendudukan dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.

Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.

Dengan dibantu salah seorang walimurid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan, terutama perihal anak-anak mereka yang sering datang ke sekolah.

“Ko trada perlu torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari.”

Sam, dengan setengah tak percaya, mengikuti lelaki itu. Ia turun daru rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menerbar, hidungnya di sesaki asin, dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut, dan di sana nampak sudah anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang iakira sakit, ternyata mereka ada di sana.

Di tempat ini, terlihat: barisan dayung-dayung yang digantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang, yang kemudian Sam tahu itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi, dengan bahasa alih kode semi kacau, bahwa di sinilah sekolah yang ia dirikan. Sekolah yang diberi nama Lat: sesuai dengan nama suku.

Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemerintah” meski hanya di kelas satu-demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal.

Ketika itu, kakaknya, yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus menemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyanyi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tetapi ia tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengaahkan tombak, apalagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul.

Dari situ ia benci sekolah-ia benci menghabiskan waktu dengan menyanyi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru, ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus, dan seterusnya. Dan itu tak ada, atau mungkin tak akan pernah ada!

Sam terdiam. Ia paku bagai kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang; berpias-berpias.

Dan sorenya juga, Sam melihat di bawah cahaya senja yang senantiasa keemasan sebelum muram jadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas satu.

Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,

“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai, dayungi, dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidupbukan Cuma omong kosong dan menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang.”

/3/

Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas, ketika kini dia menghadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.

Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid-muridnya yang kini tinggal setengah-sisanyanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang kerang, dan seterusnya.

“Maf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta sejumlah anak  lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.

“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?”

Sam mundur sedujut. Ia kaget. Lelaki itu menujukkan ikan kalengan bermerek sarden.

Usut punya usut, setelah bercakap kemduian, sekolah Lat tengah mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang di Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman.

Nah, dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasar ikan, ia melihatikan kaleng yang ternyata harnya sebuahnya setara dengan harga satu kilo ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut kepala suku Lat itu, atu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari sini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.

Dan, sekali lagi Sam menggeleng. Ia mejnelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijazah, dan ketrampulang, menghitung, bahasa, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar….

“Ah, baik. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku Lat mengas. Matanya resah. Anak-anakn di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu di Banyuwangi Jawa Timur.

“Sa mau ke sana! Ko kaih tau…”

Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang, akan ada rombongan kecil dengan perahu layar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya, berduyun mengarungi Samudra Hindia, menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti di kota, mobil, motor…. Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; terlatih membelah ombak dengan dayung, membaca ngin, gemintang, dan asin air laut dn jejak-jejak iakan di antara buih dan gelombang. Jiah! Khiaak!

2010


* Ikan Kaleng karya Eko Triono
Disalin dari 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas: Dari Salahat Dedaunan sampai Kunang-kunang di Langit.  Jakarta. 2012.

Komentar Anda