Al-Imam al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M di kota Ghazal, Persia. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Di kota kelahirannya yang menjadi salah satu pusat pengetahuan itu, al-Ghazali mulai menuntut ilmu dari para ulama ternama yang ada di sana. Dengan kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya, dalam usia yang masih sangat muda, al-Ghazali sudah dikenal alim dalam persoalan agama.
Hal itulah yang kemudian membuat al-Imam al-Haramain al-Juwaini, yang pada masa itu menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, memberikan kepercayaan kepada al-Ghazali untuk membantunya mengajar di sana. Tak lama berselang, beliau bahkan menggantikan al-Imam al-Haramain memimpin perguruan yang banyak menghasilkan ulama-ulama kaliber internasional pada zamannya itu.
Kehidupan Intelektual al-Ghazali
Kehidupan intelektual al-Ghazali diisi dengan memberikan kuliah dan menulis kitab. Tak kurang dari seratus kitab yang telah menjadi buah karyanya. Yang terkenal dan tak asing lagi bagi banyak orang adalah Ihya ‘Ulumiddin, Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz min al-Dhalah, Maqashid al-Falasifah, Misyakatul Anwar dan Bidayatul Hidayah yang terjemahannya ada di tangan pembaca saat ini.
Kepopuleran, harta, maupun jabatan strategis dari pemerintah pun diperolehnya lewat pengabdian intelektualnya itu. Tentu saja keadaan yang sedemikian itu membuat pundi-pundi uang dengan mudah mengalir ke kantongnya. Namun, semua itu ternyata tak mampu memuaskan hatinya. Ia masih bertanya-tanya tentang kebenaran jalan yang selama ini ditempuhnya. Ia pun menjadi gamang dan lebih banyak merenung. Lalu, ia memutuskan untuk menanggalkan jubah kulit kebesarannya dan menggantinya dengan jubah kasar khas seorang pengembara.
Tak hanya sampai di situ. Ia pun kemudian meninggalkan apa yang selama ini telah diperolehnya berupa harta duniawi yang melimpah, dan lebih memilih untuk berkontemplasi. Dalam perenungannya yang berlangsung tak kurang dari sepuluh tahun, ia meyakini telah memperoleh kebenaran lewat tasawuf. Ia pun bertekad untuk menyampaikan ajaran tasawuf dan mengoreksi berbagai hal yang menurutnya keliru.
Pertama kali yang ia kritisi adalah Ilmu Kalam. Al-Ghazali tidak bisa menerima berbagai kontradiksi yang ada pada ilmu kalam dalam memperoleh apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Lebih-lebih tentang Teologi Rasional Mu’tazilah yang dianggapnya telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Argumentasi teologis yang diajukan oleh al-Ghazali secara tidak langsung telah memperkuat sendi-sendi pemikiran teologis al-Asy’ari yang selanjutnya berkembang menjadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal itu telah ia ungkapkan secara panjang lebar dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dhalalah.
Sasaran kritik al-Ghazali berikutnya adalah Filsafat. Kitab Tahafut al-Falasifah jadi karya monumentalnya yang membuat mati gairah berfilsafat yang ada di dunia Islam Timur. Dengan legitimasi nama besar al-Ghazali, Filsafat menjadi barang yang terlarang untuk dipelajari. Perlawanan itu diberikan al-Ghazali karena ia melihat Filsafat mengadung kerancuan dan justru membawa orang yang mempelajarinya kepada kesesatan. Ia melihat Filsafat yang bersandar pada rasionalitas manusia semata tidak akan pernah bisa membawa kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena keterbatasan pikiran manusia tidak akan mampu menyingkap hakikat kebenaran Ilahiah yang dipancarkan Allah SWT.
Sungguh pun demikian, al-Ghazali tidak menafikkan Filsafat secara keseluruhan. Yang ditentangnya adalah yang dianggapnya rancu, yakni pada bidang Metafisika yang membahas persoalan ghaib dan ilmu ketuhanan, di mana para Filsuf pada saat itu menyatakan tentang keabadian alam. Inilah satu di antara sejumlah ajaran Filsafat yang ditentang oleh al-Ghazali. Ada pun tentang bagian Filsafat yang lain, seperti Logika, Matematika, dan Fisika menurutnya amatlah layak dan dianjurkannya untuk dipelajari. Al-Ghazali bahkan tidak pernah menyuruh untuk membakar buku-buku filsafat yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tersebut. Yang banyak terjadi adalah kesalahpahaman orang dalam memahami pernyataan al-Ghazali.
Kekecewaan al-Ghazali terhadap Ilmu Kalam dan FIlsafat inilah yang membuatnya lari ke dalam tasawuf. Di sini al-Ghazali menemukan kedamaian. Ia merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Lewat ajaran tasawuf inilah ia dapat melihat cahaya kebenaran yang dipancarkan Tuhan. Ia juga menganjurkan manusia untuk menempuh jalan itu jika ingin memperoleh kebahagiaan.
Menurut al-Ghazali, kebenaran hanya bisa dicapai dengan jalan kembali kepada Tuhan dengan hati yang bersih dan jiwa yang suci, Tuhan akan memancarkan cahaya kebenaran ke dalam batin seseorang. Dari situlah seseorang akan mendapatkan ilmu atau hikmah. Hikmah adalah puncak pengetahaun yang tertinggi, Ia tak bisa dicapai hanya lewat argumentasi-argumentasi filosofis dan pemikiran rasional. Dengan kata lain, siapa saja yang ingin mendapatkan hikmah sebagai pengetahuan tertinggi, dia harus hidup dengan jalan yang benar, dan itu mesti ditempuh lewat tasawuf.
Atas dasar itu, al-Ghazali kemudian menjalani hidup sebagai seorang zahid. Ia mengembara dari satu kota ke kota yang lain dan lebih banyak merenung dan menulis. Dalam pengembaraannya itu, ia mengamati berbagai fenomena yang disaksikannya itu. Hasil pengamatannya itu kemudian ia tuangkan dalam Masterpiece-nya, Ihya ‘Ulumiddin. Maka tidaklah mengherankan bila karyanya ini memiliki cakupan kajian yang sangat komprehensif dengan muatan tasawuf yang sangat tinggi dan memiliki bobot intelektual yang sangat baik. Hal itulah yang menjadikan Ihya ‘Ulumiddin sebagai ‘kitab standar’ bagi pengajaran agama di berbagai lembaga pendidikan Islam dan pesantren-pesantren pada saat itu, bahkan hingga masa sekarang ini.
Sebelum masa al-Ghazali, tasawuf masih dianggap sebagai ajaran yang menyimpang. Orang masih ingat betul bagaimana al-Hallaj dengan paham hulul-nya mengaku sebagai Tuhan. Namun, dengan peranan al-Ghazali ditambah kepiawaiannya memadukan tasawuf itu dengan unsur Sunni, jadilah corak tasawuf yang baru. Jika dulu al-Hallaj dimusuhi karena corak tasawufnya yang falsafi, maka sekarang tasawuf menjadi ‘barang’ yang banyak dicari orang dengan corak Sunninya yang kental. Atas peranannya itu pula, muncullah berbagai aliran tarekat yang berpola Sunni yang hidup pasca era al-Ghazali. Tanpa jasa besarnya, rasanya mustahil tasawuf bisa bertahan dan merebut begitu banyak pengikut hingga dewasa ini.
Al-Ghazali pula orang yang punya andil terhadap pembentukan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara keseluruhan, baik dari segi teologi, fiqh, tasawuf, dan filsafat. Argumentasinya yang bersifat tradisionalis terlihat sangat condong membela al-Asy’ari yang bisa kita saksikan dengan sangat jelas dalam Ihya ‘Ulumiddin. Ia pula yang punya andil dalam membakukan madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang identik dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan, pemikiran al-Ghazali berpengaruh pada semua cabang atau aspek pada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Akhir kehidupan
Al-Imam al-Ghazali tutup usia pada tahun 1111 M di Thus, Persia. Sampai sekarang namanya masih tetap diabadikan dengan harum dan akan selalu diingat oleh kaum Muslimin sepanjang masa. Gelar Hujjatul Islam yang disandangnya pun hampir dipastikan tak akan diberikan kepada orang lain untuk menghormati jasa-jasanya yang sangat besar terhadap Islam dan kaum Muslimin.
*) Diambil dari pengantar buku Menggapai Cahaya Hidayah, terjemahan Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali, Pustaka Wasilah.
**) sumber: Islami.co
Al Kindi dunk tolong diposting :)
Hunting dulu ya.