Saya mengajar di salah satu sekolah Islam di Bandarlampung. Di sana, seluruh warga sekolah diharuskan mampu membaca Alqurán. Dan sejujurnya, menjadi aturan sekolah maupun tidak mampu membaca Alqurán adalah kewajiban setiap muslim.
Sekolah kami memiliki intensitas yang tinggi untuk mendidik anak-anak mampu membaca Alqurán. Berbagai strategi pembelajaran Alquran dilakukan. Bahkan sampai pengintegrasian Alqurán terhadap mata pelajaran lainnya. Singkatnya, setiap guru di sekolah kami—insya Allah—dapat membaca Alqurán. Singkatnya, saya kemudian ditunjuk untuk menjadi salah satu pengajarnya.
Maka, mulai tahun ini saya mengajar—sekaligus membimbing—anak-anak dalam membaca Alqurán. Kepada mereka: jangan panggil saya ‘ustadz’.
Dua hari pertama, saya melakukan orientasi. Saya bingung bagaimana cara mengajari anak-anak membaca Alqurán. Saya bingung, anak-anak lebih bingung. Di dua hari pertama itu saya memulainya dengan bercerita.
Saya ceritakan bagaimana kitab suci yang ada di tangan mereka ini dulu diwahyukan lalu dibukukan. Bagaimana Rasulullah dengan susah dan payah menerima dan menyampaikan wahyu. Bagaiamana Zaid bin Tsabit dengan berat hati menerima perintah untuk mengkodifikasi mushaf-mushaf Alqurán yang tercecer di tangan-tangan sahabat. Bagaiamana enam salinan Alquran dibagi ke gubernur-gubernur yang memegang tampuk kepemimpinan yang strategis. Bagaimana dulu Alqurán ditulis tanpa tanda-tanda harokat.
Hingga diakhir cerita—yang sebenarnya lebih mirip ceramah—saya menekan nada suara saya untuk menyampaikan amanah cerita: Sekarang kita tinggal membaca dan mempelajari Alquran, maka tekunilah dua aktifitas ini.
***
Saya tak ingin menjadi ustadz tapi ternyata berceramah ala ustadz menyenangkan. Pantas kalau tiba-tiba banyak bermunculan ustadz-ustadz. Dan saya menjadi ustadz SK. Maksud saya, menjadi ustadz karena menerima SK dari pemimpin saya. Artinya, gelar ini bisa kapan saja dicabut.
Mumpung SK tersebut belum dicabut akan saya cerikan pengalaman asyiknya menjadi ustadz dadakan ini.
Ada anak yang hafalan juz amma bagus sekali. Tak hanya bagus tapi juga fasih. Saya manggut-manggut, semacam malu karena mengukur diri sendiri. Ia terampil sekali menghafal. Ini hasil jerih payah orangtuanya atau guru TPA? Ketika dulu saya belajar baca Alquran ya hanya baca Alquran. Pernah juga disuruh menghafal tapi tidak mau menghafal. Makanya kalau saya menjadi imam shalat, saya hanya bisa membaca surat qul qul saja. Itu lho tiga surat terakhir.
Baca Juga: Masjid Harus Lebih Bagus dari Rumah Kita
Karena ini baru bagi saya—mengajar baca Alquran—makanya saya mengajar seperti dulu saya menerima pelajarannya. Talaqqy. Satu persatu anak-anak maju membaca lembaran Iqro’. Kalau salah saya berdehem, kalau benar saya bilang guuud.
Saya sering dibuat GR oleh anak-anak. Gede rumongso. Pernah suatu hari saya tidak masuk kelas dan digantikan oleh guru lain dengan mata pelajaran lain. Mereka langsung huuuuu tidak antusias. Pernah saya menyela pelajaran baca Alquran dengan pelajaran menulis hijaiyyah. Mereka pun langsung huuuu tidak antusias. Mereka lebih memilih belajar baca Alquran.
I’m surprised. Senang bukan main melihat antusiasme mereka. Tetaapi lantas saya penasaran kenapa mereka begitu antusias lebih memilih belajar baca Alquran. Jawaban mereka pun bikin saya mesem-mesem: “Karena kalau yang lain ngaji kita kan bisa mainan, pak.” Oh!
Tidak hanya itu, saya juga pernah dibuat tertawa kecil. Tentu sambil saya gelengkan kepala bukan kepalang. Saat belajar dengan cara talaqqy ini salah satu anak didik saya membaca hakyimi. Saya koreksi sampai tiga kali tapi tetep saja baca hakyimi. “Bukan hakyimi tapi hakiimi.” Kata saya. “Ya tah?!!” kata anak saya seperti tidak percaya.
Bagaimana pun juga pelajaran ini tetap harus berjalan. Namanya juga anak-anak. Saya dulu lebih nakal. Jadi, saya anggap ini cicilan karma. Mungkin kalau saya jadi ustadz ujian kesabaran saya akan lebih besar. []
iya… memang harus sabar dalam mendidik anak…. supaya anak menjadi anak yang sholih
Insya Allah, kalau guru sabar dalam mengajar dan mendidik, buahnya akan tampak pada peserta didik.