Di titik sangat lelah, di penghujung kegiatan pembelajaran, saya menanyakan sesuatu kepada anak-anak. Pertanyaan yang cenderung pada kegeraman. “Apa yang salah dengan kelas kita? Sudah dua tahun kita belajar ngaji tapi kenapa masih begini?” Anak-anak terdiam. Yang cekikikan sontak langsung tutup mulut. Ada alarm keras terdengar di telinga mereka. Waspada. Jika tidak sebentar lagi kegeraman ini akan menjadi-jadi. “Kesalahan itu bisa jadi terletak pada diri saya dan tidak menutup kemungkinan juga pada diri kalian. Kita cari tahu lalu kita perbaiki.”

Lalu berlanjut ke frase-frase dan kalimat-kalimat. Anak-anak tetap diam. Barangkali mendengarkan tetapi hanya berlalu saja. Di penghujung, saya meminta feedback. Saya berharap ada di antara anak-anak yang berani angkat bicara. Tapi harapan saya terlalu tinggi. Atau bisa jadi karena saya terlalu banyak menyampaikan sehingga mereka bingung apa yang mesti ditanyakan.

Dua tahun saya bersama mereka mengaji Alquran. Huruf demi huruf. Dari buku Iqro’ hingga Alquran. Dari beberapa surat yang ayatnya pendek-pendek ke surat yang ayatnya panjang-panjang. Tahapan demi tahapan dilalui tetapi ada yang stag dan melekat kuat di cara mereka membaca Alquran. Mereka bisa membaca tetapi ada yang secara gradual berjalan lambat.

Melihat mereka terdiam, saya pun menyimpulkan sendiri. “Permasalahan kita adalah kita kurang taaddub, talaffudz, dan takrir.”

BACA JUGA – Aplikasi Alquran Virtual Ayat Versi 1.4

Ketiga istilah itu saya buat-buat sendiri untuk memudahkan identifikasi masalah. Lalu saya menjelaskan perlahan-lahan. Yang pertama adalah taaddub, yaitu kurangnya tata krama terhadap Alquran. Rasa dan sikap tata krama terhadap Alquran adalah penting. Membaca Alquran, setiap hurufnya, setara dengan sepuluh kebaikan. Jangan-jangan pengajian ini begini-begini saja karena sikap tata krama terhadap kitab suci ini berkurang sehingga kebaikan-kebaikan itu kurang berbekas.

Saya masih sering melihat anak-anak membaca Alquran ditenteng seperti membawa sangkek belanjaan. Atau tertumpuk bersama dengan buku-buku lainnya di dalam laci meja. Atau membiarkan Alquran tergeletak begitu saja di atas lantai sementara ia asik mengobrol dengan lainnya. Atau membaca Alquran tidak dalam keadaan suci dari hadats. Atau ada najis hukmiyyah atau áiniyyah yang tidak diperhatikan yang terbawa dari kamar mandi. Atau keluputan lainnya yang tidak terabsen.

Kalau kita mengkaji buku-buku klasik tentang Alquran, biasanya dibahas pula tentang tata krama terhadap Alquran. Garis besar yang bisa kita petik dari sana adalah ketika kita membaca Alquran maka harus dalam keadaan suci dari hadats kecil dan besar serta najis. Selain itu, mengawali dengan taáwudz, membaca basmalah, menghadap qiblat, tafakkur terhadap apa yang dibaca. Bahkan ada yang menganjurkan supaya menangis—atau pura-pura menangis—ketika membaca ayat-ayat tentang azab.

Permasalahan kedua adalah ketidakdisiplinan melafazkan huruf. Secara sifat, terdapat huruf-huruf hijaiyyah yang masuk dalam kategori hams atau jahr, isti’la’ atau syiddah. Secara makhroj, terdapat huruf-huruf yang keluar dari bibir, gigi, ujung lidah, tenggorokan, dan pangkat tenggorokan. Selain itu, juga ada yang dibaca secara tajwid. Ada yang masuk dalam kategori nun sukun atau tanwin bertemu huruf hijaiyyah, mim sukun bertemu dengan huruf hijaiyyah, qolqolah, mad, dan lain sebagainya. Dan semuanya itu tidak harus dipelajari terlebih dahulu, baru kemudian membaca Alquran. Tidak!

Yang kita lakukan adalah learning by doing. Misal, saat membaca huruf ba’ sukun maka kita belajar  cara membacanya yaitu dengan cara dipantulkan. Tidak hanya huruf ba’ tapi ada empat huruf lainnya. Begitu juga saat mendengungkan bacaan atau mensamarkan. Atau memanjangkan bacaan satu ayunan atau tiga ayunan. Anak-anak tidak perlu mempelajari definisi-definisi istilah itu karena yang penting adalah praktis membaca Alquran. Definisi-definisi itu bisa dipelajari kemdian hari.

BACA JUGA – Memahami Alquran

Lalu saya menghadapi permasalah kultural dalam mengucapkan huruf-huruf hijaiyyah. Huruf dzal, dzo, dan za terdengar sama. Huruf tsa dan sin tidak ada bedanya. Tho dengan ta. Dhod dengan da. Qof dengan kaf. Hamzah dengan áin. Tetapi dari semua kemiripan makhroj itu yang paling susah diperbaiki adalah huruf dzal, dzo, dan za. Tapi naifnya, ketika membaca this, think, time, through, talk, mereka bisa membedakan pengucapannya.

Kenapa bisa begitu? Rasa-rasanya itu adalah oleh-oleh dari kebiasaan mereka belajar membaca Alquran melalui transliterasi yang tertera di bawahnya. Secara pengetahuan mereka tahu perbedaan masing-masing huruf tetapi secara rasa bahasa masih kurang peka.

Yang terakhir adalah permasalahan takrir. Rupanya, anak-anak hanya membaca Alquran ketika di sekolah dan saat pelajaran saya. Sedikit dari mereka yang mau membaca Alquran di rumah. Padahal, kalau mau mengulang-ulang bacaan yang diajarkan di sekolah rasa makhroj itu akan terasa dengan sendirinya. Perbedaan huruf-huruf itu akan reflek dengan sendirinya. Sama ketika ada tulisan “makn bubru di pagi hari” rasa bahasa kita akan membaca “makan bubur di pagi hari”. Orang-orang menyebutnya self correction.

Hhmm, begitu banyak bicara anak-anak terlihat jemu. Waktu yang tersisa benar-benar saya gunakan untuk meluapkan kegeraman. Namun, bagaimana pun juga, tidak adil kalau ketidakcermatan mereka membedakan makhroj huruf membuat saya menutup mata bagaimana mereka telah mencapai progres sejauh ini.