Tak habis pikir kenapa mojok bisa mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Reinkarnasinya di awal Ramadan kemarin membuat banyak orang bahagia. Sedekah mojok untuk anak bangsa. Barangkali makhluk yang paling tidak suka dengan mojok adalah para politisi kenthir yang sering dijadikan parodi oleh para kontributornya.

Saya tidak mencintai mojok, hanya suka. Ya sekedar suka. Bahkan tidak setiap hari membacanya. Tetapi kalau dihitung-hitung, saya lebih sering membaca mojok dari pada media mainstream di negara Indonesia ini. Sayangnya, mojok tidak banyak memuat tulisan tentang Raisa dan Isyana. Saya maklum karena mojok bukan media penggosip intertainment.

Sebelum ada mojok, untuk mencerdaskan diri saya sering membeli buku. Menurutku ini tanggungjawab pribadi karena negara yang katanya bertanggungjawab untuk mencerdaskan anak bangsa justru lebih sering menghamburkan uang untuk bancakan. Barangkali karena saya adalah anak bangsa tapi tiri.

Setelah ada mojok uang saya justru habis untuk beli paket data hanya supaya bisa membuka situs mojok dan main game Clash of Clans. Paling senang kalau ada tulisan kepala suku dan agus mulyadi mampang di halaman utama. Tulisan mereka mencerdaskan. Terus terang paling mencerdaskan di antara para kontributor mojok.

Saya pernah mencoba mengirim tulisan ke mojok tapi ditolak. Dibalaspun tidak. Saya tahu diri. Barangkali tulisan saya kurang mengikuti visi dan misi mojok, kurang satir, kurang guyon, atau kurang kenes. Tapi ada untungnya juga tidak menulis di mojok karena saya tidak turut serta menyakiti banyak pembacanya. Meskipun mojok ingin menghadirkan tulisan yang membahagiakan nyata banyak yang menyakitkan.

Ketika mojok bunuh diri dengan bahagia beberapa waktu silam, banyak yang turut bahagia juga karena mojok berhenti nyindir dan menertawakan pembacanya. Barangkali disebabkan tulisan-tulisan satir mojok akhirnya ada intimidasi supaya mojok tutup. Kenapa mojok yang ditutup? Salah mojok sendiri yang di disclaimernya bilang kalau setiap tulisan yang ditampilkan dimojok menjadi tanggungjawab mojok. Sementara di lapak lain penulislah yang bertanggungjawab atas tulisan yang dimuat.

Lalu bagaimana nasib dingkelik.net?

Hah! Dingkelik itu siapa? Gak usah ngomongin dingkelik. Ia ibarat anak kecil yang sedang belajar berbicara. Mengucapkan apa yang didengar.

Komentar Anda

  1. artadhitive June 2, 2017 at 5:33 am - Reply

    Nasibmu ngak kemana kok deng! Klik
    Lho kok aneh ya …mbuhlah… apapun namamu yg terpenting adalah karyamu…

    Ketika tulisanmu menyentuh hatiku… namamu akan menjadi sandaran hatiku juga…

    Lho opo sih iki… ngomongin hati …

    Sing penting terus menulis… kelak kau akan menemukan pembacamu…