Tanom meninggalkan rumah. Ia mengayuh sepedahnya dengan kencang beradu cepat dengan sepeda motor. Lalu sampailah di persimpangan yang padat. Setiap hari kendaraan mengular di persipangan itu. Saat pagi, setiap pagi, kalau tak ada polisi, semua ingin jadi nomor satu.
Tanom mulai mengayuh pelan. Melewati sela motor dan mobil. Semuanya berjalan lancar. Lalu tiba-tiba terdengar suara decit ban mobil. Brak!!! Sebuah motor terjungkal di sampingnya disundul mobil dari belakang.
“Kampret!! Kalau ngeremkira-kira dong!” Umpat pengendara mobil sambil membanting pintu.
Pengendara motor yang sama geramnya tak mau kalah. Ia bangun. Bediri tegak. Alih-alih peduli motornya yang tergeletak, ia malah menghadang pengendara mobil yang mencium ban belakang motornya.
“Kalo gak bisa bawa mobil, buang aja!” Balasnya.
Adu mulut pun terjadi. Yang satu menaikkan suara dibalas dengan suara yang lebih keras lagi. Mereka benar-benar sarapan pagi rupanya. Pertengkaran mereka diiringin klakson sana-sini. Sayangnya, tak banyak yang peduli karena setiap orang sedang buru-buru.
Satu dua orang melihat dari kejauhan. Ada pula yang mendekat. Ada yang ingin merelai tetapi ragu. Lalu ada yang memberanikan diri berbicara tapi bukan untuk merelai.
“Pak, ributnya jangan di tengah jalan. Banyak yang mau lewat.”
Alih-alih ingin merelai orang-orang itu melihat Tanom yang menuntun seorang nenek ke pinggir jalan. Sama dengan dirinya, nenek itu nggowes sepedah. Di belakangnya bakul berisi jamu tradisional.
Kedua orang itu masih saling menuduh dan menyalahkan. Si pengendara motor beralasan mengerem karena di depannya pun mengerem. Si pengendara mobil membantah tapi jangan mengerem mendadak. Lalu mereka terdiam dan melihat ke arah Tanom.
“Gara-gara dia.” Kata pengendara mobil.
Tanom dihadang dan disambar dengan tatapan mata yang menajam. Di depan dadanya jari telunjuk pengendara mobil itu menunjuk-nunjuk.
Kini, pertengkaran itu jadi tiga orang. Saling serang. Untung hanya secara verbal. Meskipun begitu orang-orang sudah siap-siap kalau-kalau mereka beradu jotos. Nenek itu pun dibawa-bawa dalam cekcok adu mulut. Tanom tak ingin bawa-bawa nenek itu.
“Kalau dia gak nyebrang sembarangan gak akan ada kecelakaan!!”
“Jangan bawa-bawa nenek lah. Sudah tua dia.”
“Harus dikasih tahu. Ini persimpangan. Gak bisa nyebrang sana sini seenaknya.”
Si pengendara mobil paling marah karena lecet di body mobilnya tak murah. Si pengendara motor pun tak kalah maranya karena dia satu-satunya yang mencium aspal dan berdarah. Dan Tanom menjadi tempat luapan kemarahan mereka berdua.
Lelah saling umpat mereka diam dengan sendirinya. Jeda. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara nenek penjual jamu dengan suaranya yang ringkih.
“Maaf ya den bagus. Gara-gara saya jadi ribut begini. Saya hanya bisa ganti dengan jamu ini. sekali lagi mohon maaf.”
Tiga gelas jamu kunir asem dihidangkan untuk mereka bertiga.