Terik siang belum tuntas. Membuat orang berlalu lalang tersengat. Dahinya membutir air. Punggungnya disiram keringat. Kerap sekali debu bercampur asap menghembus ke tubuh menempel menjadi daki.

Panas memberi keberuntungan kepada penjaja minuman. Cendol, dugan, atau sekedar air mineral. Hari ini kantong mereka menebal. Juga kantong Kasturi. Orang-orang silih berganti memesan cendol. Beberapa juga gorengan.

Ketika bel pulang berdentang anak-anak berseragam putih merah berhamburan. Rejeki berpindah. Penjaja cilok, aromanis, somay atau gula-gula menuai rejeki. Hanya beberapa yang mampir ke tempat Kasturi. Lastri bisa menangani.

Lantas Kasturi pergi. Hanya dua batang rokok yang tersisa. Ia tak ingin telat. Sebelum semua habis sebungkus lainnya harus sudah tersedia.

“Satu aja.”

“Mosok mung sak bungkus. Padahal rame lho.”

“Satu ya satu. Gak usah nambah-nambahi.”

Kasturi membayar dengan uang pas lalu pergi. Di kejauhan Lastri terlihat tak kerepotan meladeni pelanggan. Perempuan itu bisa mengatasi sendiri. Dan Kas pun ingin menghabiskan sebatang lagi.

Barangkali karena menyulut rokok di tengah jalan, seorang perempuan, menggendong bayinya yang belum genap sebulan, menabraknya. Kas tidak apa. Tak bergeming. Tetapi rokoknya yang baru menyala terhempas jatuh ke selokan.

“Kampret!”

Api dari rokoknya menyambar, menyulut amarah dalam dadanya. Tangannya lalu dikepal, membalikkan badan, dan siap menggamprat orang. Namun ia dijawab oleh wajah iba seorang perempuan yang membuatnya melepas kepalan.

“Haduh, Ibu… Hati-hati kalau jalan!”

“Maaf, Mas. Maaf.”

“Kalau sudah begini terus gmana?”

Perempuan itu hanya bisa mengulang maafnya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Matanya menatap Kasturi barangkali ada jawaban di sana.

Tapi Kas hanya diam.

Selanjutnya Kas memang benar-benar diam. Perempuan yang menabraknya mengingatkan Kas pada sesuatu. Bayi yang digendongnya juga. Apalagi sesaat setelah itu ia menangis. Hati Kas merasakan miris.

Ia menyadari rokoknya bukan satu-satunya yang terhempas. Kantong kresek berisi beberapa buah dan susu formula terhambur. Wajah pilu di wajah perempuan itu menyeruak. Sesaat setelah mengetahui bawaannya tumpah air matanya pun keluar mengaliri wajah.

Kas merogoh kantong mengambil beberapa lembar dari dompetnya lantas memberikannya kepada si ibu. Spontan saja ia ingin berbuat demikian. Jarang-jarang Kas mengeluarkan uang untuk sedekah. Apalagi sebanyak itu.

Ibu itu tak berbuat apa-apa. Menolakpun tidak. Tangannya menerima begitu saja huluran tangan Kas yang juga mulai menghentikan air matanya. Perlahan tatapannya membening menyaksikan Kas yang pergi meninggalkannya. Ia menyebrang dan berhenti di samping seorang perempuan yang sedang menjajakkan makanan. Mereka sedang membicarakan entah apa. Hanya saja Kas sesekali menunjuk ke arah ibu itu berdiri dan di susul oleh istrinya yang melongok mencari pembuktian.

“Siapa perempuan itu?” Tanya Lastri.

“Enggak tahu.”

“Terus kamu kasih uang begitu saja?”

“Kasihan dia. Tadi nabrak saya terus bawaannya jatuh. Anaknya juga nangis. Sudahlah, itung-itung sedekah. Nanti juga dapat gantinya.”

Lastri mengalah. Matanya kembali mengarah ke tempat yang tadi ditunjukkan Kas. Tapi ia tak melihat perempuan itu lagi di sana. Pandangannya menyisir dari ujung ketemu ujung tetap saja tidak terlihat.

Bersambung…