By |Published On: April 25th, 2018|0 Comments on Terang Redup Pendidikan Kita|Views: 584|

Setiap kali mendengar berita buruk tentang pendidikan hati saya teriris. Perih. Terkadang berita buruk itu tentang peserta didik, terkadang pula tentang tenaga pendidik. Beberapa kali juga tentang infrastruktur dan pendukung pendidikan.

Beberapa waktu lalu saya mendengar seorang guru dipolisikan bahkan meregang nyawa setelah terjadi kontak fisik dengan peserta didik. Tak berselang lama, saya kembali mendengar berita tentang kekerasan yang dialami oleh peserta didik. Pelakunya adalah orang terdekat sendiri, teman sekelasnya sendiri bahkan gurunya sendiri. Sekolah mengalami tekanan dari berbagai pihak untuk menuntaskan permasalahan seperti ini.

Pada kesempatan lain saya mendapatkan cerita dari seorang kawan—dan sulit menunjukkan bukti ril sehingga cerita ini seperti dongeng belaka—bahwa kepala sekolah dan bendahara tempat ia mengajar mendapat panggilan dari oknum kejaksaan. Ia ditanya-tanyai tentang dana yang mengalir ke sekolahnya. Intrograsi itu berujung pada pemerasan. Rupanya, tak hanya sekolahnya. Beberapa sekolah yang berada satu rayon dengannya pun mengalami nasib apes yang sama.

Sedemikian rusak dan korup sistem pendidikan kita. Alih-alih ingin mencetak generasi bangsa yang cerdas dan berbudi pakerti luhur, perangkat-perangkat di dalam pendidikan  justru merusak dengan cara yang sangat sadis. Cita-cita sekolah/madrasah untuk mencari lentera bagi bangsa ini menjadi sedemikian redup. Bayangkan saja, untuk masuk ke sekolah tertentu seorang walimurid harus mempersiapkan uang ratusan juta supaya dalam lolos—bukan lulus—seleksi.

Bersih-bersih sejak Dini

Sudah waktunya orang-orang berani memulai untuk melangkah secara bersih. Meskipun segelintir. Terutama mereka yang berada di bagian “kontak langsung” kedua belah pihak. Ladangnya boleh basah tetapi tangan tidak boleh kotor. Menghilangkah kebiasaan meminta/memberi “ucapan terima kasih” atas tugas pokok yang diembannya. Hal seperti secara perlahan dapat mengurangi prilaku buruk korupsi. Tidak masuk akal bukan seorang meminta “ucapan terima kasih” atas pekerjaan yang sudah menjadi tugas pokoknya. Menurut saya itu murah dan hina sekali.

Seorang teman yang menjadi kepala sekolah bercerita tentang nilai akreditasinya yang rendah. Usut punya usut, sebab musababnya adalah biaya transport oknum asesor yang terbilang kecil dibanding dengan institusi lain. Saat ditanya mengapa ia tidak menambah nominalnya. Ia menyebutkan dua alasan, pertama jumlah itu adalah standar dari yayasan untuk tamu Dinas, dan kedua sudah menjadi tugas pokok asesor untuk mensupervisi sekolah baik dengan atau tanpa tambahan uang transport dari sekolah yang disupervisi. Saya memberanikan diri menanyakan besaran uang transport yang diberikan. Ternyata tidak banyak, hanya dua ratus lima puluh ribu.

Suatu hari, staf TU kami mengambil blanko ijazah dari Dinas. Jarak sekolah ke kantor dinas kota lumayan jauh. Sesampainya di dinas kota ia menuju bagian sarana prasarana (entah bagian apa pastinya, saya lupa) dan menemui seseorang. Blanko ijazah diserahterimakan. Lalu tanpa tedeng aling-aling staf kami dimintai ucapan terima kasih seikhlasnya. Untuk pengadaan blanko ijazah yang sudah menjadi tugas pokoknya—yang didanai oleh pemerintah, bukan dari kantong pribadinya—staf kami harus membayar “retribusi” bodong. Lebih parah lagi, blanko itu sudah menjadi hak sekolah dan sekolah mengambil sendiri.

Saya melihat ada beberapa orang yang berani melawan arus. Ia menjauhi tindakan-tindakan korup sekecil apapun. Tetapi ia juga bukan orang tanpa terima kasih. Maka setiap kali memberi “ucapan terima kasih” ia lakukan tidak dalam rangka mempengaruhi kebijakan. Suatu hari ia mengurus kelengkapan portofilio dirinya. Ia berurusan dengan berbagai institusi. Kesabaran menyelimuti hari-harinya hingga portofolionya benar-benar tuntas. Setelah semua selesai, ia temui orang-orang yang telah membantunya. Ia ucapkan terima kasih sementara lawan bicaranya sudah lupa ia berterimakasih untuk apa.

Drama di Ruang Belajar

Kegeraman pada urusan birokrasi di atas bisa hilang sama sekali ketika berada di kelas. Yang menarik dari ruang-ruang kelas itu adalah sekelompok anak-anak yang kelak menggantikan kita di berbagai peran kehidupan. Berangkali di antara meraka ada yang menjadi insinyur, politisi, saintis, programer, ustaz, dan lainnya.

Karena masa depan yang masih remang-remang itulah saya justru bersemangat. Sedikit demi sedikit, selama berhari-hari untuk tiga tahun, kami belajar bersama. Untuk hal-hal “kekinian” saya belajar dari mereka dan untuk yang “kuno” saya bisa menjadi sumber. Lalu terjadi simbiosis mutualisme: kami saling menerangi.

Permasalahan yang muncul di kelas sering dipicu oleh “roaming”, tidak terjalin sikap saling mengerti antar dua generasi yang berbeda. Saya membaca “Guru Gokil Murid Unyu”-nya J. Sumardianta, dan semoga para tenaga pendidik dan pemangku kebijakan pun membaca buku ini. Rupanya, memang banyak hal yang menyebabkan roaming di ruang kelas. Nilai dan teknologi sering menjadi imbas roaming tersebut.

Nilai yang mengalir di antara peserta didik saat ini jelas berbeda dengan masa pra-millenium. Keakraban antara anak-orangtua dan siswa-guru sudah tidak bisa digambarkan seperti yang terjadi pada masa-masa itu. Ide-ide dan semangat yang menghidupinya pun bergeser. Bersamaan dengan perubahan zaman, perubahan nilai-nilai itu pun menjadi wajar.

Dulu, guru adalah orangtua. Perilaku murid adalah gambaran dari orangtuanya atau gurunya. Karena interaksi (doktrin dan dogma) terjadi dari mereka berdua. Tetapi pada masa ini, ia berasal dari mana saja. Guru tidak bisa lagi benar-benar menggurui. Guru pada masa kini adalah mediator bagi peserta didik dalam menginternalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai dari luar dirinya.

Para tenaga pendidik yang stag, enggan mengembangkan diri dan meningkatkan keterampilan dalam mengajar, mereka akan tergerus dan tersingkir karena kekolotan. Sekolah dan para pemangku kebijakan mestinya rutin mengadakan coaching dan pendampingan terhadap guru. Tak sebatas pada perangkat yang dua puluh dua itu. Pengembangan terhadap kecapakan guru sebagai pendidik, konselor, dan motivator jauh lebih penting.

Melihat kebutuhan dan impian kita terhadap masa depan negeri ini saya fikir sepadanlah untuk mempertaruhkan sebagian besar kepada peran guru. Maka sudah sewajarnya para pemangku kebijakan mengatur regulasi yang jelas dan kuat yang memberikan perlindungan terhadap dunia pendidikan, tenaga pendidikan dan kependidikan, serta para peserta didik.

Institusi pendidikan harus dijaga dari para penjarah yang tamak. Meskipun pendidikan adalah hasil dari kebijakan politik tetapi politik praktis harus berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Termasuk para LSM atau yang mengatasnamakan surat kabar itu. Perlindungan terhadap pendidik dan peserta didik harus lebih nyata sehingga tindakan kriminal dan kriminalisasi tersingkir jauh dari bangku-bangku sekolah.

Semoga ketulusan menuntut ilmu, dari timangan seorang ibu sampai sepi di dalam lahat, tak pernah surut. Wallöhu yarham.

Komentar Anda