Setiap orang punya masalalu yang ingin disimpan rapat-rapat. Apalagi tentang sesuatu yang menurut orang adalah nakal dan dosa. Puthut EA tidak demikian. Ia menceritakan kelakuan nakalnya di masalalu dengan penuh humor di sini. Di buku “Para Bajingan yang Menyenangkan”.
Saya membacanya dalam perjalanan pulang dari Jogja menuju Lampung. Setahun yang lalu Sepanjang perjalanan. Cerita-cerita seru di dalamnya mengalahkan mata yang kantuk. Lantas belum sampai Bakauheni buku ini sudah tamat dibaca.
Puthut memberikan persembahan untuk teman-teman karibnya. Teman-teman seperjudiannya. Amarhum Jadek, Bagor, Kunthet, Proton, dan Babe. “Untuk para sahabatku tercinta, yang dulu dengan bangga kami menyebut kelompok kami dengan nama: Jackpot Society, plesetan dari judul film Dead Poets Society. Sepenggal waktu bersama mereka begitu berharga dan segala yang ada di kurun itu tumbuh bersama diriku sampai kelak aku mati.”
Apakah mereka benar-benar para bajingan yang menyenangkan?
Kita tidak perlu menguras banyak energi untuk menjawab apakah mereka bajingan atau bukan, menyenangkan atau menyebalkan. Lagi pula, kaedah ‘hanya bajingan yang mengetahui bajingan’ membatasi kita menilai mereka—orang-orang dalam buku ini—benar-benar bajingan atau nggayaingin jadi bajingan.
Saya nukil saja sedikit kisah yang ada di buku ini. “Mereka gemar berjudi. Orang-orang yang “kalau menang sok-sokan , kalau kalah berteori!” baru mengalami kemenangan besar di Jalan Magelang. 15 Juta. Lalu, mengikuti cara almarhum Jadek mereka pergi ke Mall di Malioboro. Mereka akan bermain “tuding, beli”. Artinya apa yang dituding itu yang dibeli.
Memasuki mall mereka diputer tiga kali. Mata ditutup. Seperti dalam permainan Pramuka. Setelah berhenti tangan menunjuk lalu membuka mata. Apa yang ditunjuk harus dibeli. Pertama, mas Puthut diputer lalu menunjuk ke arah kacamata. Beli kaca mata. Kedua, Kunthet. Diputer lalu menunjuk. Jatuh ke arah baju. Beli baju. Ketiga, Jadek. Diputer lalu menunjuk. Ternyata mengarah keluar. Ditelusuri keluar dan jatuh ke penjual martabak. Beli martabak. Giliran Bagor, dia nunjuk ke arah BH. Beli BH. Orang-orang tertawa. Yang terakhir, Proton. Sial bukan main karena dia menunjuk satpam.
Cerita-cerita di dalamnya tidak melulu tentang perjudian. Hal kocak lainnya yang musykil menerimanya kecuali kamu sendiri, atau melihat temanmu sendiri, punya kelakuan yang mirip-mirip Jackpot Society ini. Keusilan mereka di kantin kampus, Bagor yang bikin acara dan menghadirkan Deddy Corbuzier—dan sebagai musik penghiburnya adalah Teamlo, juda tentang Bagor yang diidolakan Mazpung.
Saya tulis ulang saja bagaimana Mazpung siap pasang badan, apapun yang terjadi, siap pasang badan.
“Satu-satunya perkelahian yang diingat oleh orang-orang sekampungnya adalah ketika Mazpung yang saat itu baru saja menginjak bangku SMA menantang seorang gali senior di kampungnya gara-gara dikompas.
“Mazpung membawa pisau terhunus keliling kampung mencari gali itu. Sang gali, sebut saja namanya Botol, mendengar dia dicari “anak kecil” bernama Mazpung, langsung muntab. Dia bawa golok gantian mencari Mazpung. Akhirnya mereka berhadap-hadapan di sebuah perempatan. Seorang gali senior yang sudah sangat terkenal, membawa golok terhunus menghadapi remaja mungil dengan pisau kecil yang juga terhunus.
“Orang-orang sudah menyangka sebentar lagi pasti mereka akan menyumbang Mazpung yang menginap beberapa minggu di rumah sakit.
“Botol maju. Mazpung juga maju. Ketika jarak tinggal tiga meter, ketika semua orang mulai menahan napas, mendadak azan Asar berkumandang.
“Mazpung membentak, ‘Sebentar, baru azan! Hormati orang azan!’
“Botol pun diam. Menunggu. Dia tahu kalau dia maju orang-orang akan menyalahkannya. Bagaimanapun kampung itu adalah salah satu pusat kegiatan keagamaan.
“Begitu azan selesai, Mazpung bilang begini, ‘Aku mau salat Asar dulu. Kalau kamu masih berani, tunggu di sini!’
“Botol mulai bingung. Dia mematung. Tidak bisa menjawab. Mazpung meletakkan pisaunya di tanah lalu pergi ke masjid. Orang-orang terdiam. Lalu satu persatu mengikuti Mazpung ke masjid. Tinggal Botol yang berdiri sendiri. (((skip))) Lalu Botol pergi.”
Singkat kata mereka tidak jadi berkelahi.
Dan masih banyak cerita yang lebih seru lagi.
Pesan Moral dari Para Bajingan
Remah-remah masalalu memang asik untuk dikisahkan. Konon, untuk mengetahui seberapa tuakah diri kita bisa dilihat dari gemar tidaknya berkisah kepada oranglain. Sementara kita bercerita, biarlah pembaca yang menyaringnya. Komposisi hidup menjadikan setiap orang punya rasa yang berbeda-beda.
Kalau tidak siap dengan konsekuensi, terutama terhadap anak isteri, lebih baik simpan saja kenangan masalalumu. Dan biarlah tetap menjadi masalalu. Tidak menutup kemungkinan, cerita-cerita itu sampai pada orang-orang yang kita kasihi yang ternyata tidak memahami hal-hal demikian. Namun, sisi baiknya, saat itu adalah ujian tentang ketulusan.
Tentang kelayakan buku ini kalau kamu suka yang lurus-lurus, gak suka yang slengekan, suka norma yang baik-baik, lebih baik baca buku ini. Bagus untuk memicu jantung.
Terakhir saya ceritakan ulang kisah mereka di bagian epilog:
Lalu saya ingatkan dia sebuh nukilan kisah almarhum teman kami yang baru saja pulang ke rumah, enggak bawa mobil. Saya mengantarkannya pulang naik sepeda motor.
“Bapaknya yang kebetulan ngonangi anaknya pulang, bertanya, “Lha mobilmu endi, Le?”
“Kowe ki ra sah takon-takon tho, Pak. Mbok pengertian sithik. Wong anake ki lagi kalah judi kok ya muih-mulih langsung diintrasi.”
Bapaknya yang penyabar menjawab, “Ya kan Cuma tanya kenapa pulang enggak bawa mobil….”
“Lha kan wis tak jawab nek aku kalah judi!”
“Lha apa hubungannya antara mobil dan kalah judi?”
“Lha, Bapak ki piye to…. Jare wong pinter. Lulusan luar negeri. Hubungane ya jelas: mobile tak gadhekke soale aku kalah judi!”