Saya masih ingat bagaimana kaca mata yang membantu saya memandang apa saja hilang. Saya yakin hilang di padasan saat mengambil air wudu. Mulanya, saya menganggap biasa saja. Rejekine mung sak munu.Di sisi lain saya masih bisa mengatasi permasalahan kecil rabun ini. Caranya, menyipitkan mata kala memandang yang jauh-jauh. Mendongak kala memandang yang dekat-dekat.
Tapi kemudian permasalahan yang saya anggap kecil ini membesar. Cara saya memandang nyatanya tidak cukup sekedar menyipitkan atau mendongak. Setelah diperhatikan ternyata pagi, siang dan malam menghadirkan masalah tersendiri terhadap mata saya. Apalagi saat sore.
Lantas saya membeli kaca baru. Dan saya berharap cara ini menjadi solusi.
Belakangan saya merasakan bahwa kaca mata baru saya pun menimbulkan masalah. Mata saya sering lelah. Otot-otot mata sering terasa tak mampu mengangkat kelopak mata. Saya tidak bisa menikmati apa saja yang bisa saya pandang. Hampir-hampir saya menyalahkan petugas optik yang pembuat kaca. Ukuran silindris, miopia, dan axisnya tidak pas. Karena nyalah-nyalahiorang adalah pekerjaan yang menyenangkan.
Kesalahan Saya Memandang
Senja adalah fase yang sulit bagi saya. Rasanya semua kabur. Lebih parah. Orang-orang menyebutnya rabun senja. Saat itu saya mengandalkan asumsi.
Sudah memakai kaca mata sejak 18 tahun lalu membuat saya sangat memahami permasalahan pandangan saya yang sering timbul tenggelam. Alhamdulillah, otak saya masih bekerja dengan baik dan cepat. Ia mengumpulkan informasi dari kilasan-kilasan buram itu lalu seluruh jiwa raga saya merespon.
Misal, kalau ada dua cahaya berjejeran, yang kanan lebih tinggi sedikit, bergerak sama cepat, maka dengan cepat saya mengetahui itu mobil. Kalau ada dua cahaya berjejeran, yang kanan lebih tinggi sedikit tapi cahayanya tidak sama terang, maka dengan cepat saya mengetahui ada motor sedang menyalip. Kalau ada benda kokoh berdiri dengan bayangannya lebih besar maka saya tahu kalau itu adalah pepohonan. Kalau ada benda kokoh berdiri tanpa bayangan, seperti melambung dan terlihat membetuk oval dengan ujung runcing di sudut atas dan bawahnya maka saya tahu kalau itu adalah orang.
Hingga kemudian tiba-tiba semua tidak lagi sesimpel itu. Semakin banyak yang dipandang semakin banyak asumsi. Sehingga saya kerap salah mengartikan. Seperti kebingungan melihat kedip lampu sein apakah sebelah kanan lampu rem atau kiri. Bukan lagi masalah ibu-ibu yang ngesein kanan ternyata belok kiri. Pernah juga ketika berangkat ke sekolah saya melihat ibu penjual sayur keliling yang sekilas tampak melaju ternyata tidak. Hampir saya menabrak.
Kebingunan ini ternyata tidak saja bersumber dari mata rabun saya. Ada yang kurang presisi di panca indra yang lain. Khususnya telinga. Hingga karena telinga saya juga mulai konslet beberapa kali ia salah memberi informasi. Misal begini, dalam komunikasi saya tidak hanya mengandalkan telinga tapi juga mata. Mata menyimak suara sedangkan mata memperhatikan bibir. Hanya saja kadang jadi kabur antara suara yang saya dengar dengan gerak bibir yang saya perhatikan. Walhasil, saya salah tangkap.
Hari itu, misalnya, ketika saya yang tak berkacamata ini melambatkan laju motor sekedar untuk memberi jalan kendaraan lain yang memutar. Tapi kemudian saya dikejutkan oleh klakson mobil tepat di belakang saya hingga hampir-hampir saya terjatuh. Saya mara-mara tapi kemudian saya bimbang tadi itu suara klakson dari mobil yang mana. Pernah juga saya mengucapkan ‘ha!’ beberapa kali untuk mengsinkronkan apa yang saya dengar dengan gerak bibirnya apakah dia meminta diambil roti, topi, atau kopi.
Mencari Posisi supaya Presisi
Persoalannya adalah semakin ke sini semakin sering tidak sinkron. Tidak presisi. Berita dan cerita semakin tak bisa dibedakan. Fakta dan opini tersaji sedemikian rupa hingga tak sanggup lagi dibedakan. Juga, asumsi menyempit sehingga tidak ketemu garis arsirannya. Yang konon permasalahan itu melatih kita semakin presisi dengan nilai-nilai ketuhanan (kebaikan/akhlak mulia), kini berubah menjadi badai yang tak menentu.
Beberapa keran informasi saya tutup: yang datang dari telinga maupun mata. Software penyaring informasi saya harus segera di-update. Apalagi menyadari bahwa terjadi korosi di sana-sini. Kalau terus-terusan dijejali tidak menutup kemungkinan suatu saat akan jebol.
Toh, indikasi juga sudah terlihat. Sering lepas kontrol, emosional, otot di lidah dan jari sering tidak terkendalikan.
Kalau di tengah malam, atau subuh, yang dingin dan sepi saya menatap langit lantas saya merenung. Merajuk dengan suara lirih yang telinga sendiri pun tak mampu mendengar (tapi di dalam sana bersuara lantang sekali). Menjura memohon pertolongan-Nya.
*) Feature Post: www.pexels.com