Saya kagum dengan anak-anak SMA yang baru saja menerima kelulusan itu. Mereka sedang disibukkan dengan perihal registrasi perguruan tinggi yang sistem penerimaannya sama sekali berbeda.
Wajah-wajah mereka penuh asa. Memilih prodi-prodi yang mereka impikan. Mendamba menjadi mahasiswa. Ada yang memilih karena mengincar peluang kerja pascalulus. Ada pula yang memilih karena terlanjur kesengsem dengan disiplin ilmunya.
Tak ada salahnya menuntut ilmu sekaligus mendesign cita-cita, mendambakan kerja yang akan ditekuni kelak. Apalagi, lapangan kerja saat ini membutuhkan spesifikasi disiplin ilmu tersendiri. Memiliki keahlian khusus menjadi modal utama dalam mencari pekerjaan.
Seandainya saya bersaing seperti mereka barangkali saya akan kalah telak. Mereka sungguh luar biasa. Mengikuti bimbel sejak kelas 12. Selesai UN langsung naik level ke super intensif. Apalagi sistem penerimaan tahun ini berbeda. Mereka akan mengikuti tes UTBK yang hasilnya akan digunakan untuk mendaftar di universitas. Di sana nilai mereka dipertarungkan.
Sementara saya, dulu, kesengsem dengan Bahasa Arab. Tidak ada cita-cita kalau saya lulus kuliah akan bekerja apa atau melamar di mana. Yang penting keinginan belajar bahasa Arab saya terpenuhi. Bersitan cita-cita saya puluhan tahu lalu adalah menjadi wartawan tetapi bangku kuliah merubahnya. Saya ingin menjadi penulis. Dan nasib mengarahkan ke jalan yang lain: saya menjadi guru.
Saya benar-benar tidak tahu apakah ini kekonyolan atau keberuntungan.
Yang membuat saya yakin dan tenang-tenang saja adalah Gusti Allah ora sare.Menyoal saya kerja apa setelah lulus, saya teringat nasehat Bapak: kullu makänin ardlulläh,di mana pun tempatnya Allahlah empunya. Dan melekat kuat diingatan saya. Tentu saja pandangan-pandangan seperti ini dipengaruhi banyak hal. Di antaranya adalah latar belakang pendidikan. Saya dan keluarga saya yang punya latar belakang erat dengan pesantren mengganggap wagukalau perihal belajar menuntut ilmu dikait-kaitkan dengan keuntungan-keuntungan duniawi. Bukan untuk nggaya nyufi, hanya saja koq wagu gitu. Barangkali kitab adabu al-alim wa al-mutaállim adalah referensi utama bagaimana para santri. Di dalamnya banyak nasehat-nasehat bagaiaman mestinya menempatkan diri di hutan ilmu pengetahuan ini.
Bersihkan hati dari akhlah buruk
Saya sangat yakin ilmu pengetahuan adalah cahaya dan hati adalah misykat-nya. Kalau misykat ini kotor bagaiaman cahayanya akan terpancar keluar. Semacam ada jelaga yang menjadi penghalang. Di antara sumber jelaga itu adalah akhlak yang tidak baik.
Yang paling sering terlihat di dunia pendidikan saat ini adalah maraknya suul adab para pelajar terhadap guru mereka. Terlihat dari tutur bahasa, sikap yang kurang andap asor bahkan sampai berani melawan.
Saya tidak menuntut para pelajar itu harus membungkuk-bungkuk di hadapan guru sebagai bentuk penghormatan. Tapi akal budi kita bisa mengukur kadar pengormatan berdasar nilai-nilai universal. Kalau ada yang berani menantang dan membentak gurunya sendiri apakah barokah ilmu itu akan sampai.
Maka benar ungkapan “adab sebelum ilmu”. Karena orang berilmu tapi tak punya adab atau akhlak yang baik maka runtuhlah keilmuannya.
Perbaiki niat
Kedudukan ilmu sangat mulia. Tidak sebanding dengan harta benda. Sampai-sampai, pada kalau Rasulullah menawan musuh ia diberi kesempatan untuk bebas: masuk Islam, membayar denda, atau mengajarkan ilmu pengetahuan.
Maka baik-baiklah dalam niat mencari Ilmu. Niatkanlah untuk meraih rido Allah. Ilmu yang diperolah akan diamalkan, untuk menghidupkan syariah, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kaum terpelajar menempati derajat yang mulia tetapi kemulyaan itu sering dikotori oleh hasrat mengejar keuntungan duniawi, seperti mencari kedudukan/kekuasaan, pengaruh, keuntungan materi, atau mencari penghormatan manusia.
Mencari ilmu adalah passion sedangkan bekerja adalah pengabdian. Barangkali ungkapan ini cukup untuk menasehati kita untuk tidak selalu menghubung-hubungkan kalau belajar di prodi A kelak akan menjadi A. Bukankah yang terpenting dari ilmu pengetahuan adalah implementasinya untuk kemaslahan masyarakat? Saya meyakini kalau niat kita tulus dalam menuntut ilmu maka kelak kita akan ditempatkan pada situasi untuk mengamalkannya.
Tidak Bermewah-mewahan
Mencari ilmu tidaklah mudah. Apalagi dalam perantauan. Banyak aral dan rintangan. Ada kalanya menemui materi yang rumit dan susah untuk difahami. Ada kalanya pula suasana hati dan lingkungan yang tidak mendukung proses belajar secara optimal. Belum lagi, godaan untuk bersenang-senang dan bermewah-mewahan.
Saya teringat saat di perantauan. Orangtua saya memberi nasehat supaya saya belajar tirakat dan ngrekso (menahan diri). Terutama ngrekso dari keinginan ini dan itu yang dapat melalaikan diri dari tujuan utama: menuntut ilmu.
Nasehat-nasehat tentang tirakat dan ngerkso ini tidak melulu menahan diri dari ingin ini dan itu. Yang paling sering adalah puasa sunnah.
Manajerial Waktu
Jumlah mata pelajaran yang menumpuk—empat mata pelajaran dalam satu hari dan tigabelas atau lebih dalam satu pekan—menuntut para pelajar untuk jeli dan cermat menjaga waktu. Mengatur waktu untuk berbagai aktifitas. Waktu untuk belajar, murojaah, ibadah, sampai waktu untuk istirahat.
Manajemen waktu orang yang sedang menuntut ilmu tentu berbeda dengan manajemen waktu pekerja. Sebaiknya, para pelajar itu menata waktu sebaik mungkin untuk mempelajari bebagai ilmu. Mengurangi waktu berlehai-lehai dan senda gurau. Memperbanyak waktu mutholaah dan diskusi.
Waktu yang paling baik untuk belajar dan berdiskusi adalah pagi hari sedangkan siang digunakan untuk menulis. Pada malam hari digunakan untuk mutholaáh dan mudzakaroh. Sedangkan waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur. Meskipun kewajiban menuntut ilmu tidak dibatasi oleh umur tetapi merencanakan waktu belajar sangatlah penting. Semasa muda digunakan sebaik mungkin untuk mencari ilmu lalu sisanya dimanfaatkan untuk mengamalkannya. Ingat sebuah pepatah: belajar di masa kecil bagai mengukir di atas batu dan belajar di masa tua bagai mengukir di atas air.
Saat ini desakan materialisme sangat menghimpit. Hampir-hampir semua urusan diukur dalam bentuk imbalan-imbalan materi. Saya sangat berharap nilai-nilai seperti ini masih dikecap oleh para siswa di sekolah-sekolah atau di TPA mereka. Kalau toh tidak langsung melekat pada saat itu, semoga dapat memperkuat dirinya saat menghadapi benturan-benturan kelak.