Dihitung-hitung ternyata sudah cukup lama saya menjadi guru. Terhitung sejak tahun 2006, enam bulan sebelum lulus kuliah, saya sudah mengajar di tingkat sekolah dasar hingga sekarang di tahun 2019. Artinya sudah 13 tahun.
Saya ingin bercerita sekelumit saja bagaimana saya menjadi guru.
Sebagai sarjana non-guru tapi berprofesi sebagai guru sebenarnya cukup membuat hati saya mengkeret, malu, dan kadang redup kepercayaan diri. Apalagi ketika membicarakan profesionalisme dan pedagogik guru. Cukup lama bagi saya untuk mengerti tentang kedua kompetensi tersebut–dan ada dua lainnya: kompetensi sosial dan pribadi–yang saya pelajari secara otodidak. Ya, otodidak. Tidak bersertifikasi.
Untunglah, institusi tempat saya mengajar rajin mengadakan in house training (IHT), sesekali saya diikutsertakan dalam kegiatan seminar dan bimbingan teknis, dan kegiatan lainnya yang menyumbang peningkatan kompetensi saya.
Tapi itu semua tidak lantas membuat saya hebat.
Saya alumni bahasa dan sastra Arab dari salah satu kampus di Malang. Dan sekarang, entah karena mimpi apa, saya mengampu dua mata pelajaran: bahasa Arab dan PPKN. Naifnya, jam PPKN lebih banyak dari bahasa Arab. Bahkan, dulu sekali, pernah mengampu bahasa Inggris selama dua tahun. Bagaimana bisa–atau cukup berani–mengampu mata pelajaran yang nyempal dari legalitas sanad keilmuan saya?
Beberapa teman saya mengatakan saya guru hebat karena “keberanian saya itu” yang sebenarnya untuk menutupi maksud sebenarnya bahwa saya hanyalah ban serep.
Tidak sekali dua kali saya bertanya-tanya apa untungnya buat saya menerima tawaran itu semua. Saya akan menjawabnya lain kali di tulisan yang lain.
Orang-orang dalam Angket
Beberapa hari yang lalu saya menerima hasil angket kinerja selama setahun ini. Hasilnya bikin hati tersentak. Membaca beberapa poin di lembaran itu muncul respon dalam hati: mosok iyo aku begini?
Responden angket ini adalah guru dan peserta didik. Identitas mereka tersimpan rapi, kecuali dibocorkan atau ada yang gacor. Barangkali karena dirahasiakan itulah isi hati mereka berani menyeruak ke permukaan. Makanya saya bisa saja mencari-cari jastifikasi bahwa ada unsur like and dislike yang sangat kental dalam hasil angket itu. Denial yang sebenarnya menyerupai api yang membakar kayu kering.
Ya, saya hanyalah kayu kering.
Saya membutuhkan beberapa kali membaca untuk mencermati dan merefleksi, untuk menyerap. Bahkan saya mesti berusaha menyelaraskan antara pernyataan dan respon, menaik-turunkan intonasi dan ritme bacaan supaya presisi antara keinginan responden dengan pemahaman saya. Tetap saja, yang saya temui adalah nelangsa.
Dan kayu kering ini tinggal menunggu waktu dijentik api untuk dibakar.
Namun, dari sini saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Seringkali saya menasehati untuk “bersyukurlah atas lontaran kritik yang sampai padamu karena sejatinya mereka sayang padamu. Maka tersenyumlah.” Nyatanya, menjalaninya tak semudah menyampaikannya. Kritik pedih itu tak bisa ditelan bulat-bulat, tidak bisa pula dienyahkan begitu saja.
Setelah mengambil jeda waktu saya memutuskan untuk membaca kembali poin-poin itu, mencernanya dengan dada yang lapang. Yang manis-manis dari lembaran itu ada batu bara untuk lokomotif hidup saya. Yang pedih-pedih adalah track line yang rusak yang mesti saya perbaiki.
Bagaimana bisa membenci murid sendiri—kalau itu bersumber dari mereka—yang kelak akan menggantikan peran kita di masyarakat? Bagaimana pula membenci rekan kerja sendiri—kalau itu bersumber dari mereka—yang selama sebenarnya menyokong kinerja saya selama ini.
Maka kepada para responden itu saya ucapkan banyak terima kasih—sekaligus saya belajar mengucapkan terima kasih. Setelah sekian lama menjadi guru, hasil angket tahun ini barangkali akan mengantar saya menjadi guru yang hebat. Namun, yang terpenting dari itu semua adalah doa untuk kita semua. Semoga ilmu yang terpancar dari kita berbuah kemanfaat.**