Davina Cahya, anak perempuanku, bercerita tentang gambar-gambar dari buku Halo Balita. Ie bercerita dengan ekspresi yang menggemaskan. Saya pun menyadari satu hal, yang saya bacakan sejak dia masih berumur sekitar lima belas bulan ternyata nyantol di memorinya.
Sekarang, kami sering tanding baca buku. Saya dengan bacaan saya, Cahya dengan bacaannya. Dia bisa menceritakan ploting sesuai dengan gambar buku, menunjukkan beberapa detail gambar. Yang bikin saya tertegun, kadang dia menanyakan kepada saya—atau bundanya—perihal gambar di buku. Kalau jawaban saya salah dia membenarkan. Sebenarnya, Cahya tidak benar-benar bertanya tetapi menguji.
Selain menguji apakah saya bersamanya saat itu lewat pertanyaan-pertanyaan, Cahya akan mematikan televisi—kadang handphone—kalau saya meladinya dengan nyambi.Itulah caranya menarik perhatian saya, juga perhatian bundanya. Awalnya saya mengira ini kebetulan. Ternyata, hampir terjadi setiap saat. Ketika kami bersama, membaca buku bersama, saya ketahuan nyambi, dia akan langsung menyingkirkan apapun itu supaya saya fokus dengannya.
Saya takjub. Saya pun meyakini bahwa setiap orangtua mengalami hal yang sama: ketakjuban-ketakjuban di depan mata mereka sendiri. Seperti saya. Terlebih lagi ketika menyadari bahwa polah anak adalah refleksi orangtua.
Suatu hari saya menyapu dia ikut menyapu; saya mencuci pakaian dia ikut mencuci pakaian; saya menyiram bunga dia pun ikut menyiram bunga. Sampai suatu hari terjadi kejadian menggemaskan. Aquariaum ukuran 60 x 40 cm di ruang tamu terlalu rendah. Cahya kadang asik kecipak-kecipuk bermain air. Hari itu, setelah makan, dia lari menuju aquarium dan mencuci tangannya di sana. Setelah dirunut ke belakang, ternyata dia meniru bundanya.
Begitulah. Setiap anak adam dan hawa memiliki keajaibannya sendiri. Terlebih kemampuannya dalam copy/paste segala sesuatu yang dia lihat atau dengar. Mata dan telinga menjadi scannersuper canggih. Anak yang tumbuh di lingkungan yang baik telah memiliki bekal yang baik dari scanningalam bawah sadar yang dialaminya setiap hari. Selanjutnya, silahkan mewaspadai siapa/apa yang akan menjadi distraksi-nya.
Saya menilai bagaimana kami membesarkan Cahya selama dua tahun ini. Banyak peristiwa-peristiwa kecil yang sepele tapi menjadi pembelajaran yang berarti. Belakangan ini dia mau menggunting kertas menggunakan gunting kain yang besar itu. Tentu saja kami khawatir. Saya melarangnya tapi dengan seni komunikasi yang baik supaya dia paham mengapa tidak boleh bermain gunting tanpa pengawasan. Didengarkan? Ya, Cahya mau mendengarkan, dan Alhamdulillah mau nurut.
Cahya bisa seperti ini bukan karena saya. Emaknya lah yang paling berperan. Selain mengajaknya membeli ice cream dan yakult, peran saya tak banyak. Sabtu dan Minggu adalah waktu emas saya dan selain itu perhatian saya tersita di sekolah bersama anak-anak nonbiologis saya.
Dia sangat berani untuk tetap di rumah, meskipun sangat besar harapannya untuk berkarya di luar. Seandainya saya yang dirumah sudah pasti saya tak sanggup. Saya berada di luar sementara isteri saya di rumah karena, menurut Putu Wijaya, kalian para laki-laki memilih lebih dahulu sehingga isteri kalian tak punya pilihan.
Davina Cahya sudah dua tahun lebih dua bulan. Tak hanya buku yang menarik perhatiannya. Ia mulai suka ngeluyurke tetangga. Bermain dengan anak-anak sebayanya. Apalagi tetangga kami dititipi anak kecil, semacam baby sitter, sementara ibunya bekerja entah di mana. Cahya senang main ke sana dengan bola basket kesayangannya.
Saya ingin melanjutkan cerita tentang Davina Cahya lebih banyak tapi tidak sekarang. Lain kali saja. Kehidupan pribadi seperti ini harus pintar-pintar dipilah bagian mana yang bisa di-published dan bagian mana yang disimpan. Semoga setiap anak bangsa di tanah Pertiwi ini tak tercerabut dari bahagia.