Sekolah kami memiliki event tahunan. Cross Culture. Sebuah event yang sangat dinanti-nantikan oleh para peserta didik. Tak hanya tentang negara yang mereka presentasikan dalam stan mini berukuran 2×3 atau perform singkat di atas panggung. Tetapi ada yang tak kalah hebohnya. Bazaar.
Ada dua puluh satu kelas. Berarti ada dua satu puluh negara. Meksiko, Arab Saudi, Mesir, Prancis, China, Yunani, Australia, Hawaii, India, Italia, Malaysia, Jerman, Jepang, Palestina, Belanda, Thailand, Korea Selatan, Inggris, Turki, dan Rusia.
Saya terkesan denagn kelas 12-IPA (kelas Imam Bukhari) yang terpilih untuk mempresentasikan Turki. Menghadirkan Turki dalam stan mereka, khususnya kulinernya. Patut diacungi jempol. Saya sudah mencoba salah satu menunya. Enak sekali. Barangkali mereka merujuk pada kebab, makanan yang banyak kita temui di pasar malam atau di mal. Sayangnya, saya tidak bisa memuji performance panggung mereka. Maaf.
Melancong dalam Sehari
Konsep Cross Culture tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk pertama kalinya mereka mendesain stan yang kecil itu. Beberapa kelas mengeluhkan. Alasan mereka karena stan itu terlalu sempit. Mereka lebih suka mendesain kelas. Lebih leluasa. Lebih privatejuga. Tapi, panitia harus menghindari hal buruk yang mungkin terjadi. Setidaknya tidak lagi terjadi corat-coret atau memaku tembok.
Kami benar-benar seperti keliling dunia. Keliling ke dua puluh satu negara dalam satu hari. Hanya saja, briefing kepada ketua kelas semestinya lebih detail. Sehingga nuansa kenegaraan di stan itu semakin touching.
Ada kelas-kelas yang dapat memberikan edukasi yang baik kepada pengunjungnya. Mereka memasang infografis, foto, dan lainnya di dinding-dingin stan. Menjadi mading yang menarik. Sayangnya, banyak kelas tidak mengikuti mereka. Stan tampak monoton dan kurang representatif.
Tidak lantas semua dinilai buruk. Mungkin mereka kurang maksimal mendesain stan mereka tapi mereka berhasil di bidang yang lain. Kuliner, penampilan panggung, atau kreasi busana.
Sebuah Jalan Berliku
Event Cross Culture yang meriah ini bukannya tidak meninggalkan rasa getir di hati. Hati saya saja, mungkin juga guru yang lain. Pengenalan budaya antar bangsa dan negara, pembelajaran kewirausahaan yang memicu daya rasa dan karsa, dan pembentukan karakter kepemimpinan nyatanya harus tergores oleh performance yang kurang sedap di pandangan mata.
Saya sedih. Beberapa teman juga mengaku sedih.
Performance tarian atau drama musikal yang dalam benak saya adalah classy justru jadi acak kadut. Tidak hanya muatannya yang kurang enak dipandang, bahkan nilai-nilai pembelajaran yang selama ini dibangun seperti runtuh dalam satu hari.
Barangkali karena kamilah yang luput tidak memberikan batasan, wanti-wantinya samar dan abu-abu, Term of Refference-nya yang kurang jelas.
Juga, karena kami luput tidak mendampingi saat-saat mereka mengkonsep bentuk penampilan.
Atau mungkinkah ini salah satu bentuk “balas denda” atas ketatnya peraturan yang selama ini kami terapkan.
Khusus bagian performance ini–yang cenderung didominasi tari dan drama–saya berharap supaya dihentikan saja. Atau langsung saja dilombakan untuk menampilkan sebuah naskah. Atau ya itu tadi, dihentikan saja.
Inilah pembelajarannya. Mereka belajar untuk berkreatifitas, membuat kejutan-kejutan, sementara kami belajar banyak hal. Dari yang banyak itu, yang terpenting adalah belajar tentang tanggugjawab.