Melihat bahwa saya sekarang sedang menyelesaikan sebuah buku orang penting negara ini, saya tadi hampir-hampir tergoda untuk membicarakan gelombang ketakrasionalitasan yang tiba-tiba melanda negeri ini. Namun, saya menahan diri. Takut melawan dengan tak rasional.
Saya menahan diri. Namun, sata tetap ingin membicarakan perilaku presiden. Hanya ini terkait presiden negeri nin jauh di barat Afrika sana, presiden Senegal, yang tak kurang dibenci, juga tak kurang kagumi itu, dan pengalaman relevan, sperti terlihat di bawah ini.
Apa yang dilakukan si presiden ini? Dia nampang. Kalau baru dipilih, apalagi di Afrika Barat sana, sang presiden biasa hadir dalam banyak foto yang sejauh itu tak ada apa-apanya. Namun, kali ini, lain: Presiden Bassirou Diomaye Faye tidak sekedar nampang untuk berfoto berduaan dengan sang ibu negara. Nah, kali ini fotonya dengan dua ibu negara, yaitu ibu negara yang jumlahnya dua orang.
Dia tidak sembunyi-sembunyi atau malu, seperti presiden banyak negara, yang berselingkuh untuk menyalurkan surplus testosteron mereka ketika kurang berani di dalam hal politik.
Tidak, bagi Presiden Senegal ini, lengkap dengan foto kedua ibu negara yang tampil tersenyum lebar, melambangkan semangat lintas-agama negara Frankofoni itu: istri pertama sang presiden berafiliasi agama Kristen, istri kedua berafiliasi Islam.
Reaksi-reaksinya menarik. Geger atas poligami ini, LSM-LSM feminis setempat protes atas perilaku sang presiden. Seolah tidak melambangkan kemajuan kaum perempuan, yang tak sedikit di antaranya pernah tampil mengemuka di negeri ini.
Secara historis, negara ini memang menjadi pelopor pencerahan Afrika, bahkan pernah mengirim wakil negara ke Dewan Revolusi Perancis pada 1973. Dari Afrika saat ini, gegernya presiden beristri dua mencapai kota Paris. Pertama-tama di kalangan diaspora Afrika, kemudian menyelusup sampai ke pers umum: presiden negeri paling “maju” Afrika Barat yang dikabarkan tampil progresif itu ternyata beristri dua dengan gamblang.
Baru menjadi menarik pada tahun ini: “elu mau apa”, muncul komentar sengit di pers Senegal. “Kami biasa beristri dua atau tiga.” Itulah tradisi kami. Elu mau menggurui kami karena beristri banyak. Akan tetapi, bukankah elu di Paris sana mempunyai perdana menteri yang “gay” secara gamblang. Memang begitu!
“Maka, bila elu boleh adanya perdana menteri yang gay, kenapa kami mau elu gurui gegara mempunyai presiden yang beristri lebih dari satu.” Itulah kira-kira nada sebagian pers di Senegal.
Mari kita renungkan sejenak. Kenapa peristiwa di atas adalah menarik dan penting? Oleh karena merupakan peringatan masa depan bagi kaum perempuan progresif, termasuk di Indonesia.
Begini! Kini terjadi perubahan keseimbangan strategis dan ekonomi internasional yang dahsyat. Maka LSM-LSM dari negara Barat, yang memperjuangkan emansipasi kaum perempuan dan penghapusan diskriminasi hukum terhadap minoritas seksual, sudah mulai kian menyusut sumber dana dan pengaruhnya, serta kian ditentang dari kedalaman komponen konservatif agama mayoritas.
Reaksi: “Elu, ini! Mau mengurui kami, mengizinkan orang gay nikah dan menjadi perdana menteri” bakal terdengar dengan semakin nyaring, seperti di Senegal di atas. Maka atas nama kesamarataan martabat budaya-budaya dunia, emansipasi kaum perempuan bakal dipertanyakan keabsahannya.
Bakal terdapat kontradiksi tajam dalam universalisme itu sendiri antara persamaan hak jender di satu pihak dan persamaan martabat budaya-budaya dunia. Menarik, kan.
Lebih jauh lagi, tak mustahil, bahkan sangat mungkin bakal terjadi di Indonesia suatu keterpecahan yang sekaligus sosiologis dan ideologis antara dua kubu yang bertentangan satu sama lain. Di satu pihak kubu kelompok-kelompok yang tersekularisasi atau individualistis modern, yang bakal terus menuntut persamaan hak dan penghapusan diskriminasi jender. Di lain pihak kelompok kiai dan ibu-ibu kampung yang kian taat pada tafsir konservatif agama dan siap menerima diskriminasi jender.
Berbagai undang-undang baru dan terutama KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), ketika akan berlaku pada tahun 2026, akan memunculkan kembali masalah pelik tersebut. Antara mereka yang menganut tanggung jawab perseorangan dan persamaan hak, serta mereka yang meminta ditetapkan moralitas kolektif agama.
Selamat datang, masa depan.
Jean Couteau | Udar Rasa | Koran Kompas, 12 Januari 2025