Ada banyak peristiwa yang mengecilkan hati saya. Acuh dan niat baik terkikis. Di sini. Di Pare. Padahal masih tersimpan dua pekan lagi untuk menuntaskan kewajiban. Dan, selama sepuluh hari pertama mereka seperti ikan hias yang terhempas ke perairan dari kotak kecil bernama aquarium.

Saya teringat hari itu. Di antara dadah-dadah pemberangkatan irama doa merayap ke langit, dititipkan pada sayap malaikat yang mengamini perjalanan kami. “Semoga mampu menimba ilmu dengan baik.” atau “Semoga dapat belajar mandiri.” Ada pula yang secara diam-diam menitipkan doa “Ya Allah aku titip anakku.” Dan banyak yang mendoakan “Ya Allah lindungilah mereka.”

Sementara mereka yang di dalam bus, yang terpisah dari orangtunya ini, bersorak horai.

Bingkai Besar dan Serpihan-serpihannya

Orang datang kemari tentu untuk belajar. Utamanya adalah belajar bahasa Inggris. Namun, para orangtua itu tidak cukup mengharapkan anak-anaknya belajar bahasa Inggris. Mereka menginginkan anak-anaknya belajar kemandirian, mengatur keuangan dan waktu, mematangkan emosi menghadapi masalah. Meskipun, ada yang harus tumbang di hari-hari pertama.

Namun apa yang benar-benar diharapkan dalam kegiatan sebulan ini kerap tidak seiya sekata dengan kenyataan. Sebab mendidik kemandirian, kedisiplinan, dan emosional bukanlah memasak beras menjadi nasi yang kalau salah bisa-bisa justru menjadi bubur. Ada satu atau dua anak yang mulai menampakkan tujuan sebenarnya mereka ikut Home Stay di Pare. Maka, selain belajar bahasa Inggris benarkah mereka belajar tentang kemandirian, kedisiplinan, dan emosional?

Rasa-rasanya sebulan di sini bukanlah lagi tentang mempelajari hal demikian. Justru mereka sedang menjalani try out, ujian ringan, dan sekembalinya dari sini (Pare) mereka akan memetik pelajaran yang tak pernah kami ajarkan kala di sekolah.

Lalu bagaimana mereka yang tenggelam dan larut dalam halahalahkadbrahulahula? Yang berangkat dari camp tapi tak sampai di ruang kelas—mengingat jalan menuju ke sana banyak tikungan dan pemberhentian? Ya, tentu saja mereka akan memetik pelajarannya sendiri yang juga tak pernah kami ajarkan kala di sekolah.

Tentu senang melihat mereka cepat menyerap materi dari modul di tangan mereka. Berdialong satu sama lain. Tertawa. Meng-huhuhuuuu bersama-sama. Tetapi semua belum cukup. Sangat belum cukup. Dan untuk itulah sebulah mereka di sini. Kemampuan berbahasa Inggris yang dulu pernah ditanam disirami hingga perlahan tumbuh kembali. Yang baru bisa sama sekali ia pelajari, ditanam, dan dirawat sedemikian rupa.

Tapi untuk apa sisa waktu panjang lainnya?

Beberapa kisah ini menjadi gambaran apa yang mereka pelajari:

Di antara mereka ada yang belum bisa mengayuh sepeda. Terpaksa dalam beberapa hari ia memesan ojek online. Sesekali dibonceng. Lalu dalam satu pekan ia sudah terampil mengayuh sendiri. Dan ia mendapatkan pelajaran sangat berharga: guratan luka di sikunya.

Cerita yang lain tentang sepeda. Ia mengganti sepedanya tiga kali. Pertama saat di bengkel sepeda. Satu atau dua meter keluar bengkel tandas ban depan sepede kempes. Lalu ia memilih BMX sebagai gantinya. Belum sehari BMX itu ditunggangi ban depannya tak hanya kempes. Kali ini pecah, meletus, robekan tergurat sekita satu kilan. Ia pun kembali mengganti sepedanya.

Masih ada hubungannya dengan sepeda. Sepeda fixy dengan rem turpedonya—mengerem dengan mengayuh ke arah belakang. Beberapa anak jatuh cinta untuk menyewa sepeda jenis ini selama satu bulan. Sayangnya, inilah kali pertama mereka menaiki sepeda fixy dengan rem turpedo. Beberapa kali mereka membahayakan jiwa mereka sendiri.

Satu minggu pertama, uang saku masih tebal, mereka berduyun-duyun kesana kemari. Jajan di sana-sini. Mengantar pakaian ke laundry. Makan di café-café. Setelah itu, satu persatu berguguran. Jemuran mulai penuh karena mereka mulai mencuci sendiri. Lebih ngirit, kata mereka. Saya tersenyum. Dan, di salah satu briefing saya menanyakan mereka: siapa yang telah menghabiskan uang saku lebih dari satu juta? Lebih dari lima orang mengangkat tangan.

Saya pernah mengirimkan jadwal salat lima waktu untuk wilayah Pare dan sekitarnya kepada grup walimurid. Subuh pukul 03.41 Wib. Saya sampaikan kepada mereka, “Perjuangan selanjutnya adalah bangun subuh.” Ya, inilah perjuangan pagi. Di Bandar Lampung, subuh tiba pukul 04.19 Wib. Syahdan. Pagi itu, jari saya cukup untuk menghitung mereka yang bangun pagi. Yang lainnya? Terlindas dalam lelap.

Bebatuan tajam

Semakin lama tinggal bersama mereka semakin melihat banyak hal yang tidak semestinya. Beberapa hal semestinya tidak terjadi tapi jauh dari kampung halaman memang mengubah dan menunjukkan banyak hal tentang pribadi kita. Mendapati tempat tinggal yang tidak senyaman di rumah, kalap oleh banyaknya ragam makanan yang menimbulkan sakit, lupa waktu hingga tidur larut, dan masih banyak lagi.

Beberapa peristiwa membuat saya bergairah. Bangun pagi dan salat subuh, misalnya. Mengetuk pintu perlahan tapi kontinyu supaya terbangun. Mendapati tidak ada tanda-tanda kebangkitan dari dalam pintu diketuk makin kencang dan tempo semakin cepat. Di beberapa kamar lainnya yang membiarkan pintu tak terkunci saya membangunkan dengan cara lebih bermoral: menepuk-nepuk lututnya dan memanggil namanya hingga bangun.

Tantangan yang membangkitkan emosi tak hanya terjadi di kala senja. Malam, saat senyap, saat suara dedaunan bambu di samping camp menyeruak, tiba-tiba sunyi itu pecah oleh gelagak tawa mereka yang tak kunjung tidur. Juga oleh bunyi pintu yang dibanting, seperti seorang isteri yang menutup pintu saat muntab mau minggat. Juga oleh bunyi tembakan game dari ponsel.

Sayangnya kesabaran seperti terus diuji. Setiap hari. Oleh hal kecil yang tak perlu dihadapi dengan emosi. Lantas dengan apa? Kebijaksanaan?

Pernah sekali saya menasehati: Cobalah kalian belajar mengerti wayah, mengerti waktu. Kapan mesti tenang dan kapan mesti riang. Saat magrib marilah ke masjid. Sudah malam bisakah untuk diam. Saat subuh bangunlah oleh bunyi pintu yang ditabuh.

Ada banyak peristiwa yang mengecilkan hati saya. Acuh dan niat baik terkikis. Di sini. Di Pare. Padahal masih tersimpan dua pekan lagi untuk menuntaskan kewajiban. Dan, selama sepuluh hari pertama menyaksikan mereka seperti ikan hias yang terhempas ke perairan dari kotak kecil bernama aquarium.

Aku putus asa. Diam. Setelah peristiwa malam yang kelam. Saya tak menegur. Mengambil jarak untuk melihat dari kejauhan. Sedih rasanya melihat mereka meninggalkan camp tapi mampir entah di mana. Perih melihat mereka membuka mata setelah matahari meninggi setinggi satu depa.

“Sabar. Dadi amal jariyah… ngge sangu akhirat.

Ya karim… isteri saya membalas curhatan saya di twitter. Lantas runtuh ego saya. Menimang-nimang kembali rangkaian peristiwa yang bikin sesak hati. Saya guru, mereka murid. Saya tua, mereka muda.

Memang, satu bulan dalam perantauan ini terasa singkat. Harapan untuk mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan dan kemandirian dalam satu bulan ini tidaklah cukup. Kegaduhan yang sewaktu-waktu terjadi tidak lantas mengatakan mereka tak tahu diri. Terlebih lagi, masing-masing memiliki niatan tersendiri—yang sejak awal sengaja disembunyikan. Maka, justru sebenarnya di sinilah pelajarannya: mereka sedang mempraktikkan pelajaran tentang kemandirian dan kedisiplinan untuk menjadi pribadi yang tangguh.

Tentu saja akan ada yang berguguran.

Dan masih ada dua minggu lagi sebelum semua yang di sini tuntas. Tak hanya tentang tanggung jawab, lebih dari itu: untuk sangu akhirat.