Empat anak bermain di ruang tamu. Cahya, Owik, dan kedua sepupunya. Mereka bermain kejar-kejaran, petak umpet, ada yang memerankan polisi dan ada yang memerankan pencuri. Maling.

‘Si si si siapa yang jadi polisi’ jadilah ia polisi dan sisanya menjadi maling. Satu polisi, tiga maling. 

Polisi boleh melakukan apa saja untuk pengejaran. Tapi ada satu tempat ketika polisi tidak bisa berbuat apa-apa, ketika para maling itu tidak menginjak lantai.

Jadilah kasur, meja, kursi, bupet, dan tempat lainnya berantakan karena dinaiki. Apapun yang bisa digunakan untuk dinaiki, nangkring, untuk menyelamatkan diri maka nangkringlah.

Cahya, Owik, dan kedua sepupunya tak pedulikan kami, tak peduli panas mendidih hawa Nganjuk, atau cedera yang mungkin saja terjadi ketika saling berkejaran. Yang penting senang. Tertawa. Bahkan ketika orang-orang mulai khawatir karena dollar terus merangkak naik menembus 16 ribu. Bagi mereka, yang penting riang.

Sesekali eyang kungnya membentak supaya mereka berhenti bermain, atau mengganti permainan, tapi mereka tak bergeming. Asik memainkan peran masing-masing. Cegah eyang kung hanya angin lalu seperti suara kritik kita yang menyoroti sidang MK. 

Seperti umumnya anak-anak yang bermain, mereka akan berhenti ketika ada tragedi. Ada kalanya karena raga yang terluka, ada kalanya karena hati yang tersakiti. Kali ini, Cahya dan lainnya berhenti karena urusan yang kedua.

Ketawalah lalu menangis, setelahnya ketawa lagi karena hari ini kita akan kembali dari mudik.