Mungkin beberapa dari Anda mengalami seramnya hujan badai beberapa hari lalu. Mengapa saya tuliskan beberapa, karena untuk beberapa teman yang tinggal di luar Jakarta Pusat, pengalaman sekitar pukul 03.00 itu sama sekali tak mereka alami.

Pelajaran pertama dan kedua

Dan gara-gara saya tak tahu hujan badai datangnya tak merata, beberapa dari mereka naik pitam karena BBM saya yang menyarankan untuk berdoa dan berhati-hati. yaaa… begituah. Acap kali kita mau membantu orang lain karena alasannya hanya ingin agar mereka selamat, tetapi malah jadi bumerang karena membuat mereka panik.

Banyak pelajaran yang saya petik dari kejadian hujan badai yang menakutkan itu. Pertama, saya harus belajar untuk lebih hati-hati menyuarakan apapun karena yang saya anggap baik belum tentu baik untuk mereka. Bukan karena mereka tidak baik, melainkan karena mereka tak mengalami hal yang sama.

Itu sebabnya, kalau saya pernah kecurian waktu berwisata di satu kota, kejadian itu belum tentu akan menimpa orang lain. Memberi nasehat dan menyimpulkan sebuah kejadian itu perlu melihat suatasi yang tepat. Memberi nasehat untuk mereka yang belum mengalami hal yang kita alami tak akan memberi efek urgensi kepada yang bersangkuntan. Nanti gara-gara kebanyakan informasi, mereka yang awalnya tidak keder malah jadi keder.

Bijaksana itu dibutuhkan ketika menyuarakan informasi apa pun. Bijaksana yang saya maksud itu adalah peka untuk tahu apakah sebuah informasi perlu disuarakan atau tidak. Kalaupun perlu, apakah volume yang dibutuhkan saat menyuarakan harus begitu kencang atau yang biasa-biasa saja. Karena sebuah informasi yang saya pikir tak akan mengguncang bisa jadi mengguncang kehebohan kepada orang lain.

Tentu Anda dan saya tahu bahwa hidup ini selalu ada yang positif dan ada yang negatif. Ada yang memang hobinya menyuarakan informasi untuk mengguncang tanpa harus memedulikan kecemasan orang lain. Yang penting tujuannya tercapai, yaitu menciptakan kepanikan. Hal ini karena, dalam kondisi yang panik, ada saja yang bisa beruntung.

Pelajaran kedua. Pada saat badai menyerang dengan kencangnya dan membuat saya ketakutan, beberapa tweet yang saya baca malah berbunyi, “Asiikk… Hujan badai”. Itu sebuah contoh bahwa saya ketakutan dan buru-buru supaya orang bersiap sedia, maka di sisi lain dari kehidupan ada yang bersukacita melihat badai yang begitu ganasnya.

Nah, buat mereka yang masuk kelompok ini, informasi berhati-hati tak ada gunanya. Mereka malah mampu melihat yang menakutkan itu sebagai sebuah bentuk lain dari kegirangan.

Pelajaran ketiga dan keempat

Saya sangat yakin bahwa mereka yang kegirangan ketika oranglain ketakuan tidak bermaksud melecehkan, bukan juga bermaksud untuk tidak perhatian, tetapi mereka memandang badai seperti hal yang biasa. Malam itu, saya belajar seharusnya saya memiliki perilaku positif di tengah yang negatif. Dan, perilaku positif hanya bisa terjadi kalau saya berpikir positif.

Saya harus berani menganggap sebagai sebuah kebahagiaan apabila saya jatuh dari berbagai badai yang menyerang. Karena, katanya, kalau saya bisa berpikir positif, yaaa…. Yang negatif tak akan terjadi. Beberapa waktu lalu, saya dan tim sedang menyiapkan acara yang akan dilakukan di pulau Dewata.

Saya menanyakan kepada seorang chef bagaimana kalau ada hujan badai saat pesta berlangsung. Apa plan B kita? Ia menjawab, “Tak ada plan B. Kalau Anda berkonsentrasi pada yang negatif, maka yang negatif yang akan terjadi. Jadi, mulai sekarang berpikirlah positif.”

Namun malam itu, harus saya akui, saya ketakutan. Angin ribut menggoyang kaca jendela dengan kerasnya.  Dari jendela apartemen, saya melihat ke bawah, memandangin pohon pisang dan pohon besar meliuk seperti orang sedang membungkukkan badan. Malam itu, saya berdoa suapaya Tuhan menghentikan angin badai itu.

Saya berteriak pada Tuhan karena saya tak bisa menghentikan badai dengan kekuatan sebagai manusia. Saya tak bisa menyogok Tuhan atau alam agar menghentikan badai itu. Karena saya ini terbiasa menyogok untuk tujuan yang ingin saya capai.

Pelajaran ketiga. Mungkin ada baiknya, kalau ada badai macam begini, supaya saya diingatkan bahwa sebagai manusia saya ini tak ada artinya apa-apa. Gedung yang melindungi saya saja bisa memiliki kemungkinan untuk ambruk, katakan rumah saya yang berjendela antipeluru pun bisa tertimpa pohon yang besar. Mawas diri itu perlu agar tak jadi pongah. Saya boleh begitu kaya rayanya, tetapi tak satu pun uang saya miliki bisa merayu alam untuk menghentikan amarahnya.

Pelajaran terakhir. Angin yang kencang mampu membuat pohon-pohon membungkuk tiada berdaya. Dalam hidup ini, ada yang menjadi penguasa dan ada yang dikuasai. Kalau saya ingin sukses dalam hidup ini, rahasianya hanya satu. Saya harus dikuasai Sang Pencipta dan tidak melawan. **