By |Published On: March 29th, 2017|0 Comments on Kas 1: Subuh|Views: 797|

Hujan panjang tadi malam masih menyisakan petikan air yang mentes dari talang. Masih ada genangan yang cukup hingga mentari ahirnya akan menyerapnya ke cakrawala. Subuh bertambah dingin. Sehingga Kas yang sejak bujang dulu adalah pemalas semakin terpuruk di balik selimut. Telinganya tak mampu mendengar petikan air dari talang di balik jendela kamarnya bahkan ketika azan subuh berkumandang.

Mimpinya sama sekali tidak buyar, dengkurannya tetap halus, dan jiwanya bergelayutan di alam mimpi bermain bersama seorang anak laki-laki. Mereka bermain-main di halaman sekolah, berlarian kesana kemari mengejar bola. Bola ditendang hingga lenyap tertelan awan. Kehilangan bola tidak lantas membuat mereka berdua kecewa. Mereka bermain yang lain, berlari ke taman bermain jungkit-jungkitan, ayunan, dan papan seluncur. Lalu mereka bermain petak umpet. Kas berjaga sementara anak itu berlari mencari tempat persembunyian. Ia menemukan tempat yang paling bagus untuk bersembunyi. Ruang kecil dekat kamar mandi yang biasa digunakan ibu guru menyimpan sapu, cikrak, dan peralatan kebersihan lainnya. Ia sangat bersemangat. Dari dalam ruang itu, suara Kas yang menghitung angka sangat samar.

Tiba-tiba, ia berteriak kencang.

Kas yang belum selesai menghitung angka langsung buyar. Ia berlari mencari asal suara. Ada asap menebal dari ruang kecil dekat kamar mandi. Kas mencoba masuk tapi langkahnya sangat berat. Suara minta tolong dari dalam kepulan asap semakin keras, memekik telinga menembus ke relung hati. Namun Kas tidak berdaya. Nafasnya tersengal, tubuhnya mematung, mulutnya sama sekali tak bersuara. Pandangannya pun menjadi buram.

Lalu muncul kesadaran bahwa itu hanyalah mimpi. Kas mencoba menguasai diri. Lantas ia tidak lagi berusaha mengejar suara dari dalam kepulan asap itu. "Aku harus bangun." Nafasnya semakin berat, otot tubuhnya menguat, kontraksi dari dalam perutnya menjalar ke bawah hingga selangkangan. Kesadarannya untuk bangkit pun sama kuatnya hingga akhirnya ia membuka mata.

Setelah menguasai diri nafasnya perlahan menyeirama, ototnya mengendur, matanya melebar. Kesadarannya mulai kembali dan ketika tangannya sudah bisa bergerak, ia mematikan alarm dari selulernya.

“Sial. Tindihan lagi.”

Kas pun tenggelam lagi dalam selimutnya. Matanya terpejam tetapi fikirannya masih mencekam. De javu dari mimpinya membuatnya gelisah. Rasa bersalah yang lama terkubur seperti kembali bertunas, tumbuh, dan mengakar dalam sanubari yang merenggut semangat hidupnya. Bertahun-tahun kengerian hidupnya yang ia simpan tak dinyana kembali menyeruak gara-gara mimpi sialan. Mood-nya menjadi buruk. Kemalasannyapun mendapatkan alasan untuk kembali tenggelam dalam selimut. Petikan air dari talang rumahnya menghantarkannya kembali tertidur. Nafasnya mulai berirama. Suara-suara di sekitarnya semakin memudar.

“Mau gak salat subuh lagi?”

Kas tersentak ketika Lestari menarik selimutnya dengan beringas. Kejengkelan hampir menguasai dirinya kalau saja wajah isterinya tidak sesangar itu. Lantas sambil menggeliat ia menarik kesadaran dirinya yang dibelenggu rasa malas.

“Iya… Iya....” Kas menjawab malas.

* * *

Kasturi, tetangganya lebih senang memanggilnya Kas, setiap pagi, setiap hari, mendengar tiga alarm yang berbeda. Ia jarang menemui pagi yang sumringah. Penyebab kedongkolannya adalah irama sumbang dari azan subuh, alarm seluler, dan pita suara istrinya.

Selanjutnya setelah mimpi buruk itu, pagi bermula tidak seperti biasanya. Kasturi bangun mendahului azan subuh, menyambar sarung dan kopiah. Hampir terlupa tidak mengambil bajunya. Lastri yang baru keluar dari kamar mandi terheran-heran karena tidak mendapati suaminya di ranjang. Dan setelah kesekian lama, baru kali ini Lastri mematikan alarm yang ia pasang untuk membangunkan Kas. Rasa penasaran Lastri belum terjawab. Ia bergegas ke ruang tamu barangkali ia merebah di sana. Nihil. Justru yang ia temui adalah pintu depan yang tidak terkunci.

“Mosok yo bojoku minggat? Tapi minggat kok wayah isuk?”

Belum tuntas Lastri membatin seserong membuka pintu dari luar. Lastri kaget bukan kepalang. Hampir ia tidak mempercayai suaminya yang muncul dari balik pintu. Subuh, memakai sarung dan kopiah, ke musola.

“Pak?”

“Iya.”

Kesambet opo sampeyan?”

* * *

Kopi tubruk sudah siap. Aromanya menyerebak. Dari dapur aroma itu semakin menguat diantar oleh Lastri yang datang sambil senyum-senyum.

Sampeyan kesambet opo, Pak?”

Enggak.”

“Sedang ada masalah?”

“Enggak.”

“Kalau gak ada apa-apa, terus subuh tadi ke musola, kenapa?”

“Enggak ada apa-apa. Cuma ingin ibadah, Bu. Sudah paruh baya.”

Lastri mulai jengkel karena terus-terudan mendapat jawaban seperti anak kecil.

“Pak, kebanyakan orang macam kita mau ke musola karena sedang ada masalah besar.”

“Kalau sedang tidak ada masalah besar terus tidak ke musola?”

Lastri menatap lekat wajah suaminya. Ia mencari-cari ketidakwajaran dari mata dan nafasnya. Selaput tipis mulai menguning di lingkar bola matanya. Tidak sebening sepuluh tahun lalu dengan rayu mautnya menuntun hatinya untuk menjawab ‘iya’ ketika Kas melamarnya. Sepuluh berlalu hanya terasa manis pada awalnya. Tragedi terlalu dini menghampiri kisah asmara mereka berdua. Ketika hari ini tiba-tiba Kas mendekat pada yang kuasa, Lastri merasa dirinya sedang ditertawakan nasib. Lastri menghela nafas.

“Aku keimpen.” Ada yang merembes di kelopak mata Kas.

Lastri tanggap. Ia paham apa yang dimaksud Kas. Ketika mata Kas melirik foto yang menggantung di dinding, air matanya mengalir ke pipi. Lastri turut tak mampu membendung. Air matanya menetes lebih deras. Musibah itu sudah sangat lama tetapi begitu pahit, seperti baru kemarin terjadi.

Komentar Anda