Pertikaian berkepanjangan di negeri seribu nabi itu tidak lain adalah masalah tanah. Berita tentang ribuan linang air mata yang menghantarkan genting dan atas seng roboh juga perihal tanah. Drama kekanakan tentang reklamasi itu juga jelas nyata tentang tanah.
Tanah yang nantinya akan ditanami rumah-rumah adalah investasi yang tak ternilai. Harganya tidak pernah surut. Bisa menjual tanah belum tentu bisa membeli tanah dengan ukuran yang serupa. Tetapi orang-orang tidak akan pernah surut untuk mencarinya.
Semenjak Qasidaria melantunkan lagu “Tahun Dua Ribu” sampai sekarang bisnis properti ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut. Justru semakin banyak sawah-sawah yang dijarah, hutan-hutan yang dirobohkan, hanya untk membuat cluster-cluster. Para pembelinya pun tidak kalah kalapnya. Dengan cara apa saja ditempuh untuk mereguknya.
Rumah adalah statemen kesabaran, kemandirian, kenyamanan, dan keamanan. Di sisi lain rumah juga bisa menjadi statemen untuk ketamakan, kemegahan, kesombongan, dan kebencian.
Ada yang memiliki rumah dibangun dari butiran keringatnya sendiri, menyisihkan keinginan untuk makan enak atau berpakaian mewah supaya bisa mendirikan bata merah. Tetapi ada juga yang memiliki rumah dengan sekali jentikkan jari yang membikin iri. Bangunannya tinggi-tinggi tetapi oleh tetangga dijauhi.
Ada yang karena tidak mampu membeli rumah, mengontrak rumah pun tak apa. Menyisihkan selembar atau dua lembar gaji supaya tahun depan bisa menyewa rumah lagi. Tetapi ada yang dengan pongahnya membeli rumah di sana-sini, mengontrakkan kepada siapa saja yang membutuhkan, memanfaatkannya sebagai ATM pribadi.
Ada yang hanya mampu tinggal di geribik-geribik, yang lobang dindingnya ditambal dengan plastik, atapnya pun dari asbes atau seng. Kalau datang musim panas, Masya Allah panasnya. Kalau datang musim hujan, Masya Allah beceknya. Tetapi ada yang setiap tahun menghiasi rumahnya dengan perabot serba mewah, memasang pendingin ruangan terbaik. Musim panas dan musim hujan tidak bisa lagi dibedakan.
* * *
Semua itu adalah ekspresi kerinduan. Rasa yang tumbuh di dalam sanubari untuk memiliki hunian yang nyaman. Sejujurnya, tidur tidak membutuhkan banyak fasilitas seperti kasur empuk dan lainnya.
Kalau saya mengantuk maka saya menyadari bahwa tubuh saya membutuhkan tidur. Tidak peduli saya tidur di lantai, dipan, atau kasur. Jangan-jangan, fasilitas mewah di kamar tidur itu justru memanjakan tubuh yang seharusnya bangkit malah merebah, yang seharusnya berkarya malah bermalas-malas.
Saya kira tidak hanya saya yang berpikir seperti itu. Ada ribuan atau jutaan orang yang tidak begitu mempedulikan apa yang menjadi alas tidurnya. Konsen hidupnya adalah berbuat baik untuk orang lain. Bekerja untuk memenuhi kewajibannya. Berkarya untuk aktualisasi hidupnya. Dengan begitu, kehidupan berjalan.
* * *
Seperti kebanyakan keluarga, akhirnya saya dan kekasih hidup saya sampai pada tema obrolan tentang rumah. Tentu saja dalam obrolan itu terdapat saran dan sanggahan, pertanyaan dan jawaban. Lalu, kesimpulan dari obrolan panjang itu adalah sebuah pertanyaan ‘kapan kita memiliki rumah?’
Satu yang ingin saya bagi dari diskusi kami. Saya teringat nasehat guru saya: jar qobla dar: lihatlah lingkungan sebelum kamu memutuskan untuk tinggal.
Karena rumah bukan sekedar tempat meluruskan punggung dan menggeretakkan tulang-tulang sendiri setelah lelah bekerja.
Rumah adalah tempat cinta dan kasih bersemi. Di dalamnya bukan hanya tubuhmu yang terkulai tetapi ada istri dan anakmu yang rapal wirid dan doa-doanya tak pernah berhenti. Nyanyiannya bukan hanya tetesan hujan di atas genting tetapi tangis anakmu dan cerewet mulut istrimu.
Sekolah yang sebenarnya bagi anak-anak adalah lingkungan tempat tinggal. Mereka belajar memilih diksi bahasa dari teman-teman sepermainan. Halaman rumah, pelataran masjid, jalan dan gang adalah pelajaran yang ditulis di papan tulis. Penjual jajan, teman bermain, tetangga, orang-orang di pos kamling, pangkalan ojek, mereka adalah mentor bagi anak-anak kita.
Di sana mereka melakukan elaborasi, di rumah mereka mencari konfirmasi. Tindakan kita, dengan sadar ataupun tidak, sering sekali menjadi konfirmasi bagi pencarian anak-anak. Kalau yang dikonfirmasi yang baik-baik, nah kalau ternyata yang dikonfirmasi adalah yang sebaliknya?
Ternyata, memilih rumah tidak semudah memilih selembar kain.